Kappa - Bagian I

Kappa - Ryunosuke Akutagawa

Bagian I


PADA suatu hari di musim panas tiga tahun lalu, dengan menggendong ransel seperti biasanya, aku meninggalkan penginapan berpemandian air panas di Kamikochi untuk mendaki Gunung Hodaka. Seperti diketahui, untuk mendaki Gunung Hodaka hanya dapat dilakukan dengan berjalan melawan arah arus Sungai Azusa. Karena aku pernah mendaki gunung itu sebelumnya, juga Gunung Yarigadake, maka pagi itu aku merambah lembah itu tanpa pemandu jalan, walau kabut sangat pekat.
Kabut yang menyelimuti lembah Sungai Azusa tidak menunjukkan tanda-tanda akan lenyap. Malahan sebaliknya, semakin gelap. Setelah berjalan sekitar satu jam, akibat pekatnya kabut, akubermaksud kembali duluke penginapan. Namun untuk kembali juga tidak mungkin; tetap saja harus menunggu kabut menyingkir. Sayangnya, kabut semakin tebal saja.
"Ah...! Lebih baik terus saja naik," pikirku, sambil terus mendaki, menerabas rerumpunan bambu dengan tetap menyusuri lembah sungai.
Penglihatanku terhalang kabut tebal. Meski begitu dari dalam kabut terkadang menyembul dedaunan hijau segar eubang-cabang besar pohon buna dan fir (momi) yang menjuntai rendah. Kuda dan lembu yang sedang merumput tiba-tiba saja berada di hadapanku, tapi tak lama berselang kembali ditelan kabut. Sementara itu kakiku semakin berat dilangkahkan dan perut mulai terasa lapar. Pakaian mendaki dim selimut yang kubawa pun menjadi basah oleh kabut dan terasa semakin berat. Akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk menuruni Lembah Azusagawa hanya dengan mengandalkan suara air di sela-sela batu karang.
Aku duduk di tepi karang, hendak makan. Kubuka kaleng I 'a net sapi, lalu kukumpulkan ranting kering untuk membual api. Sementara itu kabut yang tak ramah naik dengan cepatnya.
Sambil menggigit sepotong roti, sekilas aku melihat arloji. Hari sudah pukul satu lewat dua puluh menit. Ada yang seketika itu mengagetkanku; sesosok bayangan wajah seram tercermin sekilas pada kaca bulat arloji. Aku segera menoleh ke belakang; dan untuk pertama kalinya aku melihat makhluk kappa! Ia berdiri di atas karang di belakangku dengan sebelah tangannya memegang batang pohon shirakaba dan tangan lainnya dipayungkannya di atas matanya yang memandangiku dengan rasa ingin tahu.
Karena terperanjat, sejenak aku tak bergerak. Kappa itu agaknya kaget juga, sebab tangan yang memayungi matanya juga tidak bergerak. Sekonyong-konyong aku melompat berdiri hendak menangkapnya. Tapi berbarengan dengan gerakanku, kappa itu kabur. Ya, aku yakin ia kabur. Aku sudah membalikkan badan secepat kilat, namun dalam sekejap pula ia menghilang entah ke mana.
Masih dengan rasa heran dan penasaran, aku menyelidik ke dalam rumpunan bambu. Ia berada dua-tiga meter di depan, menoleh ke arahku dan siap melarikan diri. Tidak ada yang aneh pada dirinya, selain mungkin warna kulitnya. Kappa yang mengamatiku dari atas karang tadi berkulit abu- abu tapi sekarang seluruh tubuhnya berubah menjadi hijau.
"Sialan!" teriakku sambil sekali lagi memburunya. Tentu saja ia kabur lagi. Sekitar setengah jam aku nekat mengejarnya menerabas rumpunan bambu dan berlompatan di atas karang.
Kappa memang pelari tangguh, sama sekali tidak kalah dibandingkan monyet. Ketika asyik mengejarnya, beberapa kali aku hampir tidak dapat melihatnya lagi. Tak hanya itu, seringkah aku terpeleset dan jatuh. Tapi ketika sampai ke suatu tempat yang ditumbuhi sebatang ketapang dengan dahan-dahan yang menjulur panj ang, dan j alannya terhalang ,seekor banteng yang tampak galak dengan tanduk besar dan mata memerah, kappa itu menjerit dan lari tunggang- langgang ke dalam rumpunan bambu yang tinggi.
Karena saat itu kupikir aku akan dapat menangkapnya, maka aku ikut melompat ke dalam rumpunan bambu itu. Tapi ternyata di situ ada lubang yang tak tampak olehku. Aku terjatuh dengan kepala lebih dahulu ke dalam lubang gelap pekat sebelum akhirnya menyentuh kulit kappa yang licin Itu. Di saat kritis seperti itu pun, ternyata pikiran manusia masih ngelantur tak karuan. Sesaat sebelum jatuh aku masih Ingat "kappa bashi", sebuah jembatan di dekat penginapan berpemandian air panas di Kamakochi. Lalu... setelah itu aku tidak ingat apa yang kemudian terjadi. Aku hanya merasa ada sesuatu mirip halilintar di depan mataku, selanjutnya aku benar-benar kehilangan kesadaran.



Komentar