Pemahaman Bacaan: Teks No.1 - Alejandro Zambra

Pemahaman Bacaan: Teks No.1

Alejandro Zambra 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Setelah begitu banyaknya bimbingan belajar, uji latihan, serta uji prestasi dan kecakapan, pastinya ada sesuatu yang kami pelajari. Tapi kami nyaris langsung melupakan semuanya, dan, khawatirnya, untuk selama-lamanya. Hal yang kami pelajari secara sempurna—hal yang akan kami ingat sepanjang sisa umur kami—adalah cara menyontek sewaktu ujian. Demikian kusampaikan penghormatan pada lembar sontekan. Semua materi ujian disalin menjadi tulisan kecil-kecil yang bisa dibaca seukuran karcis bis. Tapi kecakapan yang mengagumkan itu manfaatnya kecil sekali kalau tidak dibarengi dengan keberanian dan keterampilan yang terutama saat momennya tiba, yaitu saat guru lengah dan sepuluh sampai dua puluh detik yang berharga pun dimulai.

Di sekolah kami khususnya, yang secara teori merupakan sekolah paling ketat di Cile, ternyata menyontek itu agak mudah. Ujiannya sering berbentuk pilihan ganda. Masih bertahun-tahun lagi hingga kami menempuh Tes Potensi Akademik dan melamar ke perguruan tinggi, tapi guru-guru kami ingin segera mengakrabkan kami dengan soal-soal pilihan ganda. Meski mereka merancang soal sampai empat versi pada setiap ujian, kami selalu punya cara untuk mendapatkan informasi. Kami tidak perlu menulis apa-apa, memiliki pendapat, ataupun mengembangkan gagasan sendiri. Yang perlu kami lakukan tinggal mengikuti permainan dan memutar akal. Tentu kami belajar. Kadang kami belajar giat sekali. Tapi itu tidak pernah cukup. Kukira caranya adalah dengan merendahkan moral kami. Bahkan kalaupun kami tidak berbuat apa-apa selain belajar, kami tahu bahwa akan selalu ada dua-tiga soal yang sulit dipecahkan. Kami tidak mengeluh. Kami tahu maksudnya: menyontek itu bagian dari kesepakatan.

Kupikir, berkat menyontek, kami mampu mengesampingkan sebagian individualisme kami dan menjadi satu himpunan. Sedih rasanya mengatakan ini, tapi menyontek itu membentuk solidaritas di antara kami. Kadang kami merasa bersalah, merasa bahwa kami ini penipu—apalagi saat kami membayangkan masa depan—tapi penyangkalan dan kemalasan kamilah yang menang.

Kami tidak wajib mengikuti pelajaran agama—nilainya tidak memengaruhi nilai rata-rata kami—tapi menyingkirkannya dari jadwal akan memakan proses birokrasi yang panjang. Lagi pula pelajarannya Pak Segovia benar-benar asyik. Ia terus saja berbicara sendiri tak henti-henti tentang persoalan apa pun selain agama. Topik kesukaannya yaitu seks, dan guru-guru di sekolah kami yang ingin diajaknya begituan. Pada setiap pertemuan kami bergiliran membuat pengakuan singkat. Masing-masing harus mengungkap sebuah dosa, dan setelah mendengarkan keempat puluh lima pengakuan itu—yang berkisar dari Aku mencatut uang kembalian sampai Aku ingin mencaplok tetek tetanggaku dan Aku bermasturbasi sewaktu liburan, selalu yang itu-itu saja—guru kami akan mengatakan bahwa tidak ada dosa kami yang tidak diampuni.

Kukira Cordero lah yang pada suatu hari mengaku bahwa ia telah menyontek saat pelajaran matematika, dan karena Segovia tidak bereaksi, kami semua ikut-ikutan: Aku menyontek sewaktu ulangan bahasa Spanyol, sewaktu ulangan IPA, sewaktu ulangan olah raga (gelak tawa), dan seterusnya. Sambil menahan senyum, Segovia berkata bahwa ia memaafkan kami, tapi kami harus memastikan bahwa kami tidak ketahuan, sebab itu akan sangat tidak termaafkan. Meski begitu, mendadak ia jadi serius. “Kalau kalian semua sudah curang pada usia dua belas,” katanya, “pada usia empat puluh kalian akan menjadi lebih jahat daripada si kembar Covarrubias.”


Komentar