Bangau - Dorthe Nors
Aku tidak suka memberi makan burung, tapi kalau bagimu itu wajib, sebaiknya kau melakukannya di Taman Frederiksberg. Di sana ada bangau-bangau yang jinak, dan dengan menata bangku-bangku taman pada jarak tertentu antar satu sama lain, pengelola taman berharap dapat menghindarkan datangnya terlalu banyak burung sekaligus ke satu area. Ada beberapa masalah di ujung taman yang merupakan tempat berkumpulnya para alkoholik, terlebih lagi dengan adanya bebek-bebek, tapi aku tidak pernah ke sebelah sana, sementara bangaunya bisa kau lihat di mana-mana. Tentang bangaunya sendiri, bisa dibilang hanya dari kejauhan saja binatang itu terlihat menarik, tapi ternyata tidak seperti itu jadinya begitu didekati. Bangaunya terlalu kurus, dan terlebih lagi yang jinak-jinak tampaknya kekurangan gizi. Kemungkinan besar roti yang diberikan pada bangau-bangau di Taman Frederiksberg itu membuat sakit perut sehingga akibatnya mereka tidak kuat terbang. Pada musim dingin yang lalu aku melihat ada salah seekor yang sedang membungkuk di balik sebuah bangku. Lehernya panjang dan kurus. Kakinya putih dan hampir tidak bereaksi sedikitpun sewaktu aku lewat. Cara angin mengibarkan bulu-bulu di lehernya membuatku ingin kembali dan duduk di sampingnya. Begitulah cara penderitaan ditarik-ulur berlarut-larut, cara yang membuat bangau-bangau itu tidak pernah benar-benar mengerahkan gairah. Tapi aku tidak akan menyentuh burung, hidup ataupun mati. Sebaiknya kita tidak bermain-main dengannya, dan kalau kau mau bermain-main dengannya, kau sebaiknya berhati-hati supaya tidak menyentuh orang dengan tanganmu yang telah terinfeksi. Kalau ada burung yang mati kau harus memastikan supaya tidak bersentuhan baik dengan binatang itu ataupun dengan kotorannya. Gunakan sarung tangan sekali pakai, dan burungnya harus diambil dengan kantong plastik, seperti memungut kotoran anjing. Kantong itu harus disegel dan dibuang bersama sampah rumah tangga kalau tidak dikubur. Seberapa sulitnyakah itu, dengan segala pengetahuan yang telah kita peroleh?
Untuk menghindari bangau yang banyak itu, begitu juga orang aneh yang sering berdiri di jalan setapak menuju Pendopo Pecinan dan memberi makan mereka dengan ikan haring sembari mengaku-aku dapat berbicara dengan mereka, aku lebih suka berjalan memutar lewat Telaga Damhus. Apapun yang dikatakan bangau itu di Telaga Damhus menjadi tidak ada artinya. Di samping itu, bangau-bangau sulit menguasai Telaga Damhus karena berada dekat pemukiman, jalur pejalan kaki, dan pesepeda. Bisa dilihat dari rongsokan yang mengotori tepian airnya, telaga itu telah dicemari oleh para pesepeda. Di sana ada banyak barang yang tidak pada tempatnya, dan di samping sepeda-sepeda pernah juga ditemukan potongan tubuh perempuan di dalam kopor. Seluruhnya merupakan tubuh wanita yang dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam kantong es. Kopor itu ditemukan oleh seseorang yang sedang berjalan-jalan bersama anjingnya. Atau, agaknya, anjingnya itu yang menemukan. Selazimnya begitu. Selalu ada banyak anjing di sekitar Telaga Damhus, dan bisa kubayangkan anjing yang satu ini dengan amat jelasnya sementara aku berjalan menyusuri jalan setapak. Jenisnya golden retriever dan menjadi rusuh di depan kopor tersebut, yang telah terdampar separuh timbul ke tepi telaga. Ada dorongan tersembunyi pada golden retriever itu untuk berguling-guling di sekitar bangkai, apalagi kalau berupa burung atau tikus, tapi bagaimana supaya tahu bedanya? Bisa kubayangkan reaksi pemiliknya begitu kesadaran mendepaknya. Kubayangkan ia mengingat momen ketika kopor itu dibuka kapanpun ia sedang bersiap-siap untuk bepergian, dan bahkan bisa jadi anjing itu sendiri tidak seperti yang dulu lagi.
Komentar
Posting Komentar