Paman Si Tukang Cukur - William Saroyan
Bu Gamma bilang aku perlu potong rambut. Ibuku bilang aku perlu potong rambut. Abangku Krikor bilang aku perlu potong rambut. Seluruh dunia ingin aku potong rambut. Kepalaku terlalu besar untuk dunia ini. Rambut hitam yang terlalu lebat, kata dunia.
Semua orang bilang, Kapan kamu mau potong rambut?
Ada pengusaha besar bernama Huntingdon di kota kami yang biasa membeli koran sore dariku setiap hari. Ia lelaki dengan berat seratus dua puluh kilo, punya dua mobil Cadillac, tanah seluas seribu lima ratus hektar, dan uang sebanyak lebih dari sejuta dolar di bank, begitu juga kepala yang kecil, tanpa rambut, tepat di bagian atas tubuhnya sehingga siapa pun dapat melihatnya. Ia suka membuat para pegawai kereta api yang datang dari luar kota berjalan jauh-jauh hanya untuk melihat kepalaku. Inilah California, begitu yang biasa diserukannya di jalan. Ada cuaca dan kesehatan yang baik. Ada kepala dengan rambut yang menarik, begitu teriaknya.
Bu Gamma tidak senang dengan besarnya kepalaku.
Saya tidak sebutkan siapa namanya, begitu katanya suatu hari, tapi kecuali anak muda tersebut datang ke tukang cukur dalam waktu dekat dan memangkas rambutnya, dia akan dipindahkan ke tempat yang lebih buruk daripada kelas ini.
Ia tidak menyebutkan nama siapa-siapa. Yang diperbuatnya hanyalah menatapku.
Maksudnya apa sih? kata abangku Krikor.
Aku senang-senang saja biarpun dunia marah padaku, tapi suatu hari ada burung kecil yang mencoba bersarang di rambutku, jadi cepat-cepat aku ke kota mencari tukang cukur. Waktu itu aku sedang tidur di rerumputan di bawah pohon di halaman rumah ketika ada seekor burung terbang merendah dari pohon dan mulai berjalan-jalan di rambutku. Waktu itu musim dingin yang hangat dan dunia sedang senyap. Begitu tenang di mana-mana di dunia ini. Tidak ada orang hilir-mudik berkendaraan dan yang terdengar hanyalah sunyinya kenyataan yang hangat dan sejuk, sekaligus riang dan pedih. Dunia. Ah, enaknya kalau bisa hidup di suatu tempat. Senangnya kalau punya sebuah rumah yang kecil saja di dunia ini. Dengan kamar, meja, kursi, dan kasur. Lukisan dinding. Rasanya asing sekaligus menakjubkan kalau bisa berada di suatu tempat di dunia ini. Hidup, bisa bergerak melalui ruang dan waktu, pagi, siang, dan malam. Bisa bernapas, makan, tertawa, bicara, tidur, dan tumbuh. Bisa melihat, mendengar, dan menyentuh. Bisa berjalan-jalan ke berbagai tempat di dunia ini di bawah mentari. Bisa berada di dunia ini.
Aku senang dunia ini ada, maka aku pun bisa ada. Aku sendirian, jadi aku merasa sedih dengan segalanya, tapi aku juga merasa senang. Aku merasa senang dengan segalanya yang membuatku merasa sedih. Aku ingin membayangkan tempat-tempat yang belum pernah kulihat. Kota-kota hebat yang ada di dunia ini: New York, London, Paris, Berlin, Wina, Konstantinopel, Roma, Kairo. Jalanan-jalanan, rumah-rumah, orang-orang yang bernyawa. Pintu dan jendela di mana-mana. Dan ada kereta-kereta pada waktu malam, dan pada waktu malam ada kapal-kapal di lautan. Laut gelap yang memilukan. Dan momen-momen gemilang di sepanjang masa yang telah lampau, kota-kota yang terkubur oleh waktu, tempat-tempat yang melapuk dan habis. Ah, saat ini aku membayangkan mimpi pada suatu masa: aku membayangkan hidup yang senang selamanya. Aku membayangkan akhir dari perubahan, kehilangan, dan kematian.
Lalu seekor burung terbang merendah dari pohon ke kepalaku dan mencoba bersarang di rambutku, dan aku pun terjaga.
Aku membuka mataku, tapi tak bergerak.
Komentar
Posting Komentar