Si Pramusaji - Robert Coover
“Hei, manis, bokongmu bagus,” ucap si sopir taksi bermata sendu dari balik meja pemesanan kedai 24 jam itu. Sepotong donat menggeliat dalam rahangnya yang tak dicukur. Si pramusaji mendelik padanya. Ia muak dilirik-lirik, ataupun ditatap dengan jijik, kapanpun ia membungkuk untuk memungut lap. “Kalau ada kambing yang kesasar, mereka bakal lirak-lirik dan mengatakan kekonyolan serupa,” keluhnya pada wanita tua di dekat mesin kas. Sebelumnya ia telah memberi semangkuk gratis sup panas pada wanita itu. “Aku sudah muak. Kuharap tidak ada yang bisa melihatku.” Ternyata wanita itu adalah ibu peri yang sedang menyamar, dan sebagai rasa terima kasihnya atas sup gratis, ia mengangkat sendoknya seperti tongkat dan mengabulkan permintaan si pramusaji. Ketika pramusaji itu hendak menyerahkan tanda terima pembayaran pada si sopir taksi, kepala lelaki itu seketika berpaling. Apa lelaki itu menolaknya? Si pramusaji bergeser ke jangkauan pandang si sopir taksi dan kepala lelaki itu menyeruduk ke arah lain. “Ya Tuhan, sakit tahu,” sungutnya. Si pramusaji membelalak ke arah wanita tua, namun lansia baik hati itu telah raib.
Sejak itu, orang-orang berpaling dari dirinya—mereka tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Sret, sret, sret , berputar kepala mereka begitu ia lewat. Kadang bunyinya menyerupai dengkingan, yang membuatnya tambah terhibur saja. Ia senang berjalan-jalan melintasi pusat perbelanjaan yang riuh, taman-taman kota, dan stasiun pada jam sibuk, mengamati kepala demi kepala bekertak dengan kompaknya. Kadang ia lucuti pakaiannya, iseng saja, mengenang sensasi yang dirasakannya semasa kecil kala bugil di depan jendela kamarnya. Tapi kemudian, begitu mendapati bayangannya di jendela toko (dengan dingin manekin-manekin di situ menatap tepat ke arahnya), ia menyadari betapa gembrot dan tolol dirinya dan kembali berpakaian.
Di kedai, bosnya, dengan kepala yang berpaling, menyerahkan beberapa helai uang pecahan kecil dan mengatakan kalau ia benar-benar bikin sakit leher. Para pelanggan mengeluh. Ia harus pergi. Ini mengingatkannya pada segala peringatan agar berhati-hati kala mengajukan permintaan. Maka, setelah kehilangan pekerjaannya, ia pergi ke bar untuk minum semabuk-mabuknya dengan gaji pemberian bosnya yang kikir, sambil berharap dapat bertemu teman curhat yang tidak akan berpaling dari dirinya. Di luar bar, ia bertemu seorang lelaki yang terus memandanginya, seorang pengemis berewokan, menggelongsor di depan bangunan seraya menggenggam kantong kertas dan cangkir timah. Apa sihirnya sudah pudar? Bukan, tebaknya seketika: lelaki itu buta. Ia tidak yakin, tapi kemungkinan ia baru saja mengajukan permintaan yang kedua, sebab—sepintas ia menengok ke belakang—ia melihat punggung si wanita tua, tertatih-tatih di sudut jalan.
Komentar
Posting Komentar