Telegraf Bernyawa - Bolesław Prus

Telegraf Bernyawa

Bolesław Prus
Penerjemah: Rijon - Kemudian


PADA kunjungannya ke panti asuhan, Sang Countess mengamati suatu kejadian yang tak biasa di lorong: empat anak laki-laki bergumul merebutkan sebuah buku lusuh sebegitu bersemangatnya.

“Bocah-bocah, saya lihat kalian bertengkar, ‘kan?” teriak wanita itu cemas. “Karena itu, tak satupun dari kalian mendapat jatah kue rempah-rempah dan kalian semua akan akan dihukum berlutut.”

“Dia mengambil Robinson Crusoe -ku!” salah satu bocah menjelaskan.

“Bohong, dia yang mengambil!” yang kedua menyangkal.

“Lihat betapa jago kau berbohong!” teriak yang ketiga. “Kau yang ambil buku itu dariku.”

Sang biarawati menjelaskan pada Sang Countess, sekalipun dalam pengawasan ketat, kejadian semacam ini cukup sering terjadi karena anak-anak begitu ingin membaca tapi tak ada buku yang dipunyai panti asuhan.

Suatu percikan muncul di hati Sang Countess. Tapi karena dia cenderung gampang letih kalau berpikir, dia lebih memilih melupakannya. Barulah ketika berada di kediaman Konselor, tempat yang pantas untuk membicarakan urusan-urusan saleh nan dermawan, dia meceritakan kejadian di panti asuhan lengkap dengan penjelasan sang biarawati.

Ketika mendengarkan, Sang Konselor juga diterpa suatu perasaan asing dan, karena lebih menguasi seni berpikir, dengan berani menyatakan kalau anak-anak yatim piatu itu patut dibekali buku-buku. Memang, dia ingat di dalam kolset atau koper dia punya setumpuk buku-buku yang dibelinya untuk anak-anaknya sendiri; tapi sekarang... sudah terlalu berat baginya untuk menggeledahi rongsokan-rongsokan.

Petang harinya Sang Konselor mengunjungi kediaman Tuan Z, yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk jasa-jasa kecil kemanusiaan yang merupakan bagian dari hierarki kepejabatan tingkat tujuh dan tingkat tiga. Dengan niat memuaskan, Sang Konselor menceritakan Tuan Z. apa-apa saja yang telah Sang Countess saksikan dan dengar dari biarawati di panti asuhan, ditambah dengan bagiannya sendiri seputar buku-buku yang sebetulnya patut didapatkan oleh anak-anak yatim piatu itu.

“Memang tidak sederhana!” seru Tuan Z. “Akan saya datangi Kantor Berita Kurir besok dan akan saya bujuk mereka menerbitkan suatu pemberitahuan.”

Keesokan harinya Tuan Z. bergegas meluncur ke Kantor Berita Kurir, memohon para editor atas segala sesuatu yang kudus untuk membangkitkan jiwa publik agar menyumbangkan buku-buku pada panti asuhan.

Dia sedang beruntung, sebab koran sedang membutuhkan beberapa baris yang sarat akan hal-hal sensasional. Editor urusan sosial duduk dan menulis:

“Sekelompok anak-anak yang merupakan tanggung jawab publik tengah menderita kekurangan buku.

“Anak-anak kecil yang begitu merindu.

“Ingatlah jiwa-jiwa yang lapar!”

Lantas, sambil bersiul, dia pergi makan siang.

Beberapa hari kemudian, pada hari Minggu, di depan pintu kantor editorial yang tertutup saya bertemu seorang laki-laki miskin berpakaian buruk dengan tangan selegam pembersih cerobong asap, dan bersamanya menyelinap seorang gadis kecil membawa sekotak buku-buku tua.

“Apa yang bisa saya bantu?”


Komentar