Apollo - Chimamanda Ngozi Adichie

Apollo

Chimamanda Ngozi Adichie
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Dua kali seminggu, layaknya seorang anak yang berbakti, aku pergi mengunjungi kedua orangtuaku di Enugu. Mereka tinggal di dalam rumah susun sempit yang disesakkan oleh perabotan dan cenderung bernuansa gelap di sore hari. Masa pensiun telah mengubah mereka, membuat mereka tampak kerdil. Usia mereka delapan-puluhan tahun, keduanya bertubuh kecil dengan warna kulit coklat tua seperti warna kayu mahogani, dan mereka juga cenderung berjalan sambil membungkuk. Seiring dengan berjalannya waktu, paras dan sosok mereka semakin mirip antara satu dengan yang lain, seolah tahun-tahun yang mereka lewati bersama telah menyatukan mereka secara jasmani. Mereka bahkan menguarkan bau badan yang sama — bau menthol yang asalnya dari tabung kecil obat gosok Vicks VapoRub, yang mereka gunakan secara bergantian, mengusapnya di bawah hidung dan sendi-sendi yang ngilu.

Ketika aku tiba, biasanya aku akan menemukan mereka sedang duduk-duduk di beranda sambil menatap ke arah jalan raya; atau mereka tengah duduk di sofa ruang tamu, menonton siaran Animal Planet. Di usia senja, kedua orangtuaku memiliki rasa keingintahuan yang baru dan sederhana. Mereka mengagumi kelicikan serigala, menertawai kecerdasan kera, dan saling bertanya: “Ifukwa, kau lihat itu barusan?”

Mereka juga memiliki kesabaran yang sama sekali baru — dan asing bagiku — terhadap cerita-cerita luar biasa. Suatu kali, ibuku pernah cerita soal tetangga di Abba, kota leluhur kami, yang jatuh sakit kemudian memuntahkan seekor belalang. Serangga itu masih hidup dan menggeliat, lapor ibuku, sebelum mengarahkan logika tersebut pada kesimpulan bahwa tetangga kami itu telah diracuni oleh saudaranya yang picik. “Seseorang mengirim SMS berisi foto belalang tersebut,” kata ayahku.

Mereka berdua selalu menopang cerita satu sama lain. Ketika ayahku cerita soal nasib pembantu rumah tangga Chief Okeke yang meninggal mendadak, ia tak lupa menambahkan teori yang beredar soal kemungkinan sang kepala suku sendiri yang telah membunuh remaja perempuan itu demi mengambil organ tubuhnya dan menggunakannya untuk kepentingan suatu ritual pendatang uang. Ibuku lantas menambahkan, “Kata orang jantungnya pun ikut diambil.”

Lima belas tahun lalu, kedua orangtuaku pasti mencemooh cerita-cerita macam ini. Ibuku, seorang profesor ilmu politik, pasti akan segera berceletuk, “Omong kosong” dengan nada tajam; sementara ayahku, seorang profesor bidang pendidikan, akan mendengus, karena baginya cerita-cerita macam ini tak pantas untuk dikomentari. Aku heran kemana perginya sifat mereka yang lama, dan kenapa sekarang mereka jadi warga Nigeria yang senang bercerita soal hal-hal aneh, seperti bagaimana wabah diabetes bisa disembuhkan dengan meminum air suci.

Namun, meski begitu, aku tetap menanggapi laporan-laporan itu. Di usia mereka sekarang, mereka seolah kembali jadi anak-anak lagi dengan kepolosan yang sama sekali baru. Pertumbuhan mereka pun tidak sepesat dulu, dan wajah mereka bersinar begitu melihatku. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang dulu terkesan menyudutkan — “Kapan kau akan memberikan kami cucu? Kapan kau akan menikah?” — tak lagi membuatku kesal.


Komentar