Balada Hujan - Ernest Hemingway
Hanya ada dua orang berkebangsaan Amerika yang tinggal di hotel tersebut. Kedua orang itu tidak mengenal penghuni lain yang mereka temui di tangga ataupun koridor hotel. Kamar mereka terletak di lantai dua dan menghadap ke arah tepi pantai. Dari jendela kamar, mereka dapat menatap ke arah taman dan sebentuk monumen perang yang berdiri tegar di tengah alun-alun kota.
Di taman ada beberapa pohon palem yang telah tumbuh besar dan sejumlah kursi kayu berwarna hijau. Jika cuaca sedang cerah, di taman itu selalu ada saja satu atau dua orang pelukis yang duduk berhadapan dengan kanvas. Para pelukis selalu bisa mengapresiasi pertumbuhan pohon palem serta warna ceria bangunan penginapan yang berdiri berjajar menghadap ke arah taman dan tepi pantai.
Pengunjung berkebangsaan Italia datang dari jauh khusus untuk melihat monumen perang. Monumen itu terbuat dari kuningan dan tampak mengkilap jika dibasuh air hujan.
Saat ini hujan tengah turun deras.
Air hujan menetes lebat dari ujung-ujung daun pohon palem; dan di jalan-jalan bebatuan juga ada genangan air yang bergemeritik ditempa hujan. Di tengah gemuruh awan gelap, laut pun tak mau kalah dan berteriak lantang saat ombaknya pecah di tepian pantai. Lalu, ombak yang telah pecah menjadi buih busa ditarik kembali ke tengah laut sebelum air bergulung dan meronta diiringi gempuran hujan.
Kendaraan bermotor tak lagi memenuhi area alun-alun kota sejak hujan turun. Monumen perang itu dibiarkan berdiri sendiri.
Di seberang alun-alun ada sebuah kedai kopi dengan pintu terbuka. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu sambil menatap ke arah alun-alun yang sepi.
Wanita itu berdiri di balik jendela kamar sambil menatap keluar. Di sana, tepat di bawah jendela, ada seekor kucing yang tengah berlindung di bawah meja kayu berwarna hijau. Air hujan menetes tanpa henti dari pinggiran meja, membuat si kucing merapatkan semua anggota tubuhnya agar tidak kebasahan.
“Aku akan turun untuk mengambil anak kucing itu,” ujar wanita tersebut.
Komentar
Posting Komentar