Buah Delima - Kawabata Yasunari

Buah Delima

Kawabata Yasunari
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Suatu malam, diterpa oleh embusan angin kencang, dedaunan yang tumbuh di pohon delima itu jatuh berguguran satu demi satu.

Mereka terkulai mengelilingi dasar pohon yang bundar.

Kimiko terkejut melihat pola dedaunan yang mengitari dasar pohon, bertanya-tanya dalam hati bagaimana mungkin dedaunan itu bisa begitu sempurna membentuk pola memutar. Tidakkah mereka tertiup angin?

Di dahan pohon hanya tinggal satu buah delima yang sudah matang.

“Kemarilah dan lihat buah itu,” kata Kimiko seraya memanggil ibunya.

“Ibu sampai lupa pohon ini berbuah,” kata ibunya sambil mendongakkan kepala ke arah puncak pohon sebelum melangkah kembali ke dapur.

Buah delima yang masih menggantung di salah satu dahan pohon membuat Kimiko berpikir tentang kesepian dalam hidup mereka—ia dan ibunya. Buah yang menggantung di atas beranda rumahnya pun tampak kesepian dan terlupakan.

Sekitar dua minggu sebelumnya, keponakan Kimiko yang berusia 7 tahun datang berkunjung dan melihat buah-buahan delima yang menggantung di pohon. Bocah itu buru-buru memanjat pohon tersebut dengan riang. Dan Kimiko merasa ia sedang menyaksikan perguliran kehidupan.

“Di atas sana ada buah delima yang sangat besar,” ujar Kimiko dari beranda kepada keponakannya.

“Tapi kalau aku mengambil yang besar, aku takkan bisa turun.”

Benar juga, pikir Kimiko seraya tersenyum. Mustahil bagi bocah itu untuk turun dari pohon kalau kedua tangannya sibuk memegangi buah delima.

Sebelum keponakannya itu datang berkunjung, baik Kimiko maupun ibunya lupa akan pohon delima yang berbuah. Dan sekarang pun mereka sudah lupa lagi.


Komentar