Injil Markus - Jorge Luis Borges

Injil Markus

Jorge Luis Borges 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Cerita ini berlangsung di peternakan La Colorada, di sebelah selatan kotapraja Junín, pada akhir Maret, 1928. Tokoh utamanya seorang mahasiswa kedokteran bernama Baltasar Espinosa. Sementara ini kita bisa bayangkan dia seperti pemuda kebanyakan di Buenos Aires, tanpa ada keistimewaan apa pun dari padanya selain kebaikan hatinya yang teramat sangat serta kecakapannya bicara di muka umum yang membuatnya memperoleh beberapa penghargaan sewaktu di sekolah Inggris di Ramos Mejía. Dia tidak suka debat, dan lebih senang jika lawan bicaranya yang benar ketimbang dirinya. Walau dia menggemari permainan peluang dalam setiap pertandingan yang diikutinya, dia itu pemain yang buruk sebab dia tidak senang jika dia yang menang. Kecerdasannya yang luas tak terarahkan. Pada usia 33 tahun, nilainya masih belum mencukupi untuk lulus, pada satu mata kuliah—mata kuliah yang paling tidak diminatinya. Ayahnya, yang seorang ateis (seperti lazimnya pria pada masa itu), mengenalkannya pada ajaran Herbert Spencer [1] . Namun ibunya, sebelum pergi ke Montevideo, pernah memintanya untuk mengucapkan Doa Bapa Kami[2] dan membuat tanda salib setiap malam. Sampai bertahun-tahun, dia tidak pernah memenuhi janji itu.

Espinosa bukannya lemah semangat. Pernah dia bertukar tinju dengan sekelompok mahasiswa teman-temannya yang berusaha memaksanya supaya ikut demonstrasi kampus, walau itu lebih karena apati ketimbang marah. Diam-diam dia punya pendapat sendiri, atau pemikiran, yang meragukan: dia tidak begitu peduli pada Argentina namun khawatir jika orang-orang di belahan lain bumi menyangka negaranya itu diduduki bangsa Indian; dia memuja negara Prancis namun merendahkan masyarakatnya; dia meremehkan orang-orang Amerika namun tak memungkiri kenyataan bahwa di Buenos Aires pun ada gedung-gedung tinggi seperti di negara tersebut; dia yakin gaucho[3] dataran adalah penunggang yang lebih baik ketimbang koboi dari bukit atau gunung. Sewaktu sepupunya, Daniel, mengajaknya menghabiskan musim panas di La Colorada, dia langsung mengiyakan—bukan karena dia memang menyukai pedesaan, melainkan lebih untuk menyenangkan diri dan juga lebih gampang bilang iya ketimbang mengarang alasan jika bilang tidak.

Bangunan utama di peternakan itu besar dan agak terbengkalai. Tempat tinggal mandornya, yang bernama Gutre, berada di dekat situ. Keluarga Gutre terdiri dari tiga orang: si ayah, seorang anak lelaki yang luar biasa kasar, serta seorang anak perempuan yang tidak jelas bapaknya. Mereka jangkung, tegap, dan kerempeng, dengan rambut kemerahan dan wajah yang menampakkan keturunan Indian. Mereka sedikit sekali bicara. Istri si mandor sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.


Komentar