Karang Hijau - Sylvia Plath
Bus kuning itu berderak dan terpental-pental di jalanan berbatu, dan koper jatuh menghantam kaki David.
‘Kau yakin kau tau tempatnya?’ ia bertanya kepada Susan dengan gelisah.
‘Tentu,’ jawab Susan, lalu, mengabaikan sikap dingin superior pada adik kecilnya, dia berteriak girang, ‘Aku bisa mencium bau laut. Lihat, di antara rumah-rumah itu!’ Dia menunjuk melewati jendela kotor yang terpercik lumpur, dan mata David mengikutinya.
Tentu saja! Terlihat semburat biru di antara rumah petak kota yang berhimpitan. Bangunan-bangunan kumal dengan tampak depan yang serupa seperti dekor di panggung pentas, tapi di belakang itu ada samudera berbinar dalam cahaya matahari Juni yang hangat, dan sekilas sangat menjanjikan. Bagi David dan Susan seakan menjelajah kembali ke masa kanak-kanak mereka. Ini bakal menjadi kunjungan pertama mereka ke kampung halaman sejak mereka pindah lima tahun yang lalu.
David mengeruntukan hidungnya yang terbakar matahari dengan begitu semangat. Bersama harum asin laut yang segar, beragam memori datang menyesak kembali.
David tertawa. ‘Masih ingat saat-saat kita menggali lubang menuju Cina?’
Mata Susan berkabut. Ingat? Tentu saja ia ingat.
*
Ada halaman belakang berumput yang penuh dengan hamparan bunga yang mereka biasa gunakan bermain bersama. Dan saat itu pagi yang panjang yang mereka habiskan, menggali di sudut taman dengan sekop dan sodokan mungil. Susan mengingat-ingat rasa lembap tanah di tangannya, mengering lalu jadi lengket.
Beberapa orang dewasa melintas dan bertanya, ‘Mau gali sampai ke mana? Cina?’ kemudian tertawa lalu pergi.
‘Kita bisa saja jika kita menggalinya dengan sungguh-sungguh, kau tahu,’ David mengamati dengan bijak.
‘Tidak, tidak kecuali kita menggali terus dan terus untuk selamanya,’ timpal Susan.
‘Mari kita lihat sampai sejauh mana kita dapat sampai sebelum makan siang,’
‘Bakal sampai ke balik dunia,’ Susan merenung keras. Kemungkinan untuk menggali sampai daratan lain membangkitkan rasa penasarannya.
‘Bakal ada sesuatu kalau kita terus menggali,’ ucap David dengan percaya diri. Ia melemparkan sesekop tanah. ‘Lihat, tanahnya berubah jadi kuning.’
Setelah Susan menyekop banyak sekali pasir, ia berseru, ‘Tunggu sebentar. Aku mengenai sesuatu!’ Ia menggaruk tanah dengan jari-jarinya dan mendapati sebuah ubin enam sisi berwana putih.
Komentar
Posting Komentar