Membunuh Waktu - Nasibu Mwanukuzi
Tak lama setelah dia masuk ke dalam café, membayar segelas bir yang dia pesan, dan mencari meja kosong di antara kerumunan pelanggan, mataku terpaku pada sosoknya. Tangan kanannya menggenggam gelas tinggi yang penuh diisi bir, sementara tangan kirinya diselubungi sarung tangan berwarna abu-abu. Ia bergerak gesit dari meja ke meja — melewati pelanggan lain yang sibuk minum minuman keras, merokok, dan berbicara dengan suara lantang — hingga ia tiba di sebuah meja kosong.
Ia menarik sebentuk bangku dengan ragu. Lalu, ia duduk dan menurunkan risleting jaketnya yang berwarna coklat. Kudengar ia berdehem, membersihkan tenggorokan. Matanya menyeleksi kerumunan orang di dalam café, sebelum akhirnya ia meletakkan gelas bir yang dari tadi ada dalam genggamannya ke atas permukaan meja. Ia berdehem sekali lagi, lalu meneguk birnya. Setelah itu, ia menyeka mulutnya dengan punggung tangan sebelah kiri.
Menurut pengamatanku, usianya lebih dari 50 tahun—ditandai oleh rambutnya yang memutih, juga kerut-kerutan yang menjamak di wajahnya, seperti cabang aliran anak sungai di daerah pegunungan. Entah kenapa, keberadaannya tampak asing dalam café ini—seolah ia tak pantas ada di antara kami. Dari raut wajahnya, kutebak ia tengah menghadapi masalah besar, memicu kebingungan, membuatnya terlihat semakin jauh dan tenggelam dalam luapan pikirannya sendiri. Tak lama setelah itu, kulihat ia mengangguk-anggukan kepalanya, menggerakkan tangannya, seolah dia sedang mengiyakan buah pikiran yang tak sengaja lewat di kepala, atau mendiskusikan masalah genting dengan seseorang yang tak kasat mata.
Mungkin dia memikirkan tagihan yang menumpuk!—pikirku. Atau mungkin juga dia tengah menjalani proses cerai dari istrinya; atau baru saja dimarahi bosnya. Apa saja mungkin terjadi, namun satu hal yang pasti adalah bahwa pikirannya saat ini sangat terggangu. Ibarat permen karet, ia kini tengah dikunyah hidup-hidup oleh nasib.
Komentar
Posting Komentar