Si Semut dan Si Belalang - W. Somerset Maugham
Di masa kanak-kanak, aku pernah diminta menghafal beberapa buah dongeng karya La Fontaine; lantas setelah itu pelajaran moral dari dongeng-dongeng tersebut akan dijelaskan secara detail kepadaku. Di antara belasan dongeng yang kuhafalkan, ada satu yang berjudul
Si Semut dan Si Belalang* —yang pada intinya berusaha untuk menanamkan pelajaran berharga kepada anak-anak bahwa kerja keras selalu membuahkan hasil, sementara kemalasan hanya akan membawa petaka. Di dalam dongeng yang menarik ini (sebelumnya aku mohon maaf karena harus menceritakan lagi dongeng yang seyogyanya sudah diketahui semua orang) Si Semut menghabiskan musim panasnya bekerja keras mengumpulkan makanan untuk persiapan musim dingin; sementara Si Belalang duduk melamun di atas selembar daun sambil bernyanyi riang ke arah matahari. Ketika musim dingin tiba, tentunya Si Semut sudah siap dengan segala bekal yang ia kumpulkan sendiri; sementara Si Belalang tak punya apa-apa, dan karenanya harus meminta sumbangan makanan dari Si Semut. Maka Si Semut pun menjawab dengan santai:
“Memang apa saja kerjamu selama musim panas?”
“Aku bernyanyi untukmu. Aku bernyanyi sepanjang siang dan malam.”
“Kau bernyayi? Kalau begitu sekarang kau tinggal berdansa.”
Tentunya saat itu aku tidak melihat ada yang salah dengan Si Belalang, karena aku mengamati kisah tersebut dari sudut pandang anak kecil yang belum mengerti pertimbangan moral dunia. Di masa itu, aku menolak untuk menerima pelajaran moral yang hendak disampaikan si penulis; dan justru berpihak pada Si Belalang. Bahkan, saking kesalnya terhadap Si Semut, aku tak pernah ragu menginjak setiap ekor semut yang kutemui. Seiring berjalannya waktu, aku juga menemukan bahwa reaksiku terhadap kisah Si Semut dan Si Belalang ternyata cukup manusiawi—karena sejak kecil aku berusaha menolak standar moralitas yang terkadang menjerumuskan, dan memilih untuk bersandar pada akal sehat dan kebijaksanaan.
Komentar
Posting Komentar