Empat Perempuan Pembawa Kiamat - Brian Aldiss
INI harus kau petakan dalam pikiranmu. Ini terjadi nun jauh di masa lampau, nun jauh di masa depan. Ini terjadi sekarang ini.
Zaman-zaman raksasa diukir dengan eksentrisitas kaum Cthonia[1] menjadi hieroglif berbahaya yang terbuat dari basal. Abad-abad aneh Bizantium diletakkan di bawah tapak kaki seperti linoleum litik. Udaranya sendiri, takterhirupkan bagi empat perempuan yang tengah melintasinya, kondensasi asap dan apsintus dan letusan gunung berapi. Bagi tiap mata dalam tengkorak, jarak pandang akan begitu minim. Bagi indra dalam karapas, kenyataan akan begitu minim.
Hanya untuk menuju ke sana saja harus terlebih dahulu melintasi jejaluran yang sarat akan entropi abadi. Warnanya cokelat kusam, hijau kekuningan, merah lendir, hartal, dan warna-warna lainnya yang menetaskan ketakeleganan. Melalui labirin-labirin tersebut para perempuan tadi melangkah, empat perempuan dan satu lagi, berjalan kaki, tanpa lelah, tanpa gentar.
Sebuah gapura belulang berdiri dan membentuk seseok figur, di mana kuku, susu, kepala, paha, tanduk, geligi, karburator, betis, paha seukuran raksasa, muka, tulang paha, kuartal belakang sewujud mimpi buruk, semua seakan dirancang oleh sekelompok pelukis psikotik Polandia yang lumpuh. Melalui gapura tersebut keempat perempuan melintas, memasuki lantunan musik yang menuntut suatu keberanian ganjil.
Di suatu taman yang agung di mana, pada sebuah danau, suatu sekoci eboni tertambatkan begitu saja, sebuah matahari dengan tekun memusatkan sinar lembutnya pada sekelompok orang yang tengah berpiknik. Mereka duduk di rerumputan paling hijau yang pernah terciptakan. Di antara mereka, dengan pantat terlindungi dari kontak dengan tanah oleh empat bantal silkette[2], duduk diktator terakhir dan terbesar dunia.
Yang menemaninya, indah dan lincah dan dapat bergonta-ganti kelamin, semuanya simulakra. Kepala artifisial mereka langsung berpaling dari arah kedatangan empat perempuan dan satu lagi. “
Kami berpiknik dengan keju dan buah,” kata sang diktator dengan ketenangan dari dalam. “Buah-buahanya pir dan rasberi, kejunya Dolcelatte, rotinya dari tanah sederhana yang paling akrab dan paling saya cinta. Sudikah bergabung dengan saya, nona-nona, sebelum kalian semua dimusnahkan karena melintasi batas suci yang sudah saya jaga?” bunyi ucapannya menggelincir di antara kecepatan pidatonya.
Dia tertawa dengan nada falseto, sekalipun mukanya, produk bedah, berwarna merah pekat dan ungu testis.
Lantas bicaralah keempat perempuan secara berurutan. Perempuan pertama yang tangguh, yang kerangka kurusnya terlapisi baju besi, “Tuan, kami tak mampu takut pada ancamanmu sebab kau semata-mata produk samping dari ciptaan kami. Kami agen kehancuran, sementara kau cuma tahi lalat dari kehancuran.”
Perempuan kedua bicara dengan nada dalam dari kedalaman sebuah ketopong logam besar, yang hanya menampakkan kilatan mata kucingnya yang berwarna kuning.
“Tuan, kami datang langsung kepadamu karena patron kami, empat penunggang kuda, kelelahan akibat tugas konstan yang dibebankan selama berabad-abad. Demikian pula, keempat tunggangan mereka yang kini telah menjadi bayang-bayang semata.”
“Kalian seharusnya tak ikut campur,” kata sang diktator. Suara bicaranya begitu dalam seakan menadakan laut tak berujung dan monster berbagai bentuk tengah hidup di sana. “Di tempat ini kalian bisa dipenggal kalau mengutarakan sesuatu yang sia-sia.”
Lalu bicaralah perempuan ketiga ....
Komentar
Posting Komentar