Karunia Terbesar - Philip Van Doren Stern

Karunia Terbesar

Philip Van Doren Stern
Penerjemah: Naga Benang - Kemudian


Kota kecil di lereng bukit itu terang oleh warna-warni lampu Natal. Namun George Pratt tidak tengah melihatnya. Ia sedang membungkuk di atas pagar besi sebuah jembatan, termenung menatap permukaan air yang gelap. Arusnya deras dan berpusar seperti kaca cair, dan terkadang potongan-potongan es dari tepi pantai tampak mengalir terbawa arus, sebelum tertelan ke dalam bayangan jembatan.

Airnya tampak luar biasa dingin. George ingin tahu berapa lama seseorang dapat bertahan hidup di dalamnya. Permukaan yang gelap dan berkilat itu memberi efek hipnotik yang aneh padanya. Ia membungkuk semakin maju di atas pagar ...

“Saya tidak akan melakukannya kalau jadi kamu,” kata suara pelan di sebelahnya.

George berpaling marah pada lelaki pendek yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia agak gemuk, hampir lewat pertengahan usia, dan pipinya yang bulat menyala pink seolah baru dicukur sebelum terekspos udara dingin.

“Tidak akan melakukan apa?” tanya George muram.

“Apa yang ada dalam pikiranmu.”

“Bagaimana kau tahu apa yang aku pikirkan?”

“Ah, memang pekerjaan kami untuk tahu banyak hal,” kata orang asing itu segera.

George ingin tahu apa pekerjaan lelaki itu. Ia lelaki kecil pendek yang biasa saja, jenis yang akan kau lewati di kerumunan yang ramai dan tidak akan sadari keberadaannya. Itu sebelum kau melihat matanya yang biru terang. Kau tidak akan pernah dapat melupakannya, karena matanya memiliki tatapan tajam paling penuh kasih yang pernah kau lihat. Tidak ada atribut lain pada lelaki itu yang menarik. Ia mengenakan topi bulu tua yang usang termakan ngengat dan mantel yang tertarik ketat pada perutnya yang buncit. Ia membawa sebuah tas kain hitam. Bukan tas dokter—terlalu besar dan bentuknya berbeda. Itu adalah tas sampel salesman, pikir George dengan ketidaksukaan yang kentara. Lelaki itu mungkin tukang jualan, tipe yang akan mengendus-ngenduskan hidungnya yang tajam pada urusan orang lain.

“Sepertinya akan turun salju, ya?” kata orang asing itu, menatap menilai pada langit yang mendung. “Akan baik bila kita mendapat Natal putih. Semakin langka saja akhir-akhir ini—tetapi begitu pula hal-hal lain.”

Ia berpaling, langsung menghadap George.

“Kamu sudah tidak apa?”

“Tentu saja aku tidak apa-apa. Kenapa kau berpikir sebaliknya? Aku—“

George diam di bawah tatapan hening lelaki asing itu. Lelaki itu menggelengkan kepalanya.

“Kamu tidak boleh memikirkan hal semacam ini—apalagi pada malam Natal! Kamu harus memikirkan Mary—dan ibumu juga.”

George membuka mulut untuk bertanya bagaimana orang asing ini bisa tahu nama istrinya, tetapi lelaki itu mendahuluinya.

“Jangan tanya bagaimana saya tahu. Ini memang pekerjaan saya. Karena itulah saya datang kemari malam ini. Dan untung saya melakukannya.” Ia menatap permukaan air yang gelap dan menggigil.

“Nah, kalau kau tahu banyak soal aku,” kata George, “beri aku satu alasan bagus kenapa aku masih hidup.”

Lelaki pendek itu tergelak dengan suara yang aneh. “Nah, nah, hidupmu tidak mungkin seburuk itu. Kamu bekerja di bank. Punya Mary dan anak-anak. Kamu sehat, masih muda, dan—“

“Dan muak akan segalanya!” seru George. “Aku terjebak di tempat busuk ini seumur hidup, mengerjakan pekerjaan membosankan setiap hari. Orang-orang lain menjalani hidup yang seru, tetapi aku—yah, aku hanya karyawan bank kecil yang bahkan tidak dibutuhkan tentara. Aku tidak pernah melakukan apapun yang berguna atau menarik, dan tampaknya tidak akan pernah. Mungkin lebih baik aku mati. Kadang aku ingin itu yang terjadi. Malah, aku ingin agar aku tidak pernah lahir!”

Lelaki pendek itu berdiri menatapnya dalam keremangan yang semakin bertambah.

“Apa yang tadi kamu katakan?” tanyanya perlahan.


Komentar