Menanti Sang Gajah - Jo Kyung-Ran

Menanti Sang Gajah

Jo Kyung-Ran
Penerjemah: Arif Abdurahman - Arip Blog


Kamera Polaroid yang kumiliki adalah Polaroid Spectra. Memakai film yang 1,5 kali lebih besar dari Polaroid umumnya, dan lebih mahal. Dia membelikan ini untuk hadiah ulang tahunku beberapa tahun yang lalu. Aku masih ingat betapa bahagianya aku ketika membuka kado dan mendapati bahwa ini kamera yang sangat aku idamkan. Dia mengambil foto pertama. Fotoku yang sedang menengok ke bawah, kepalaku sedikit mendongak. Bekas lipstik pada gelas anggurku masih jelas terlihat. Aku merasa harus meminta padanya, bolehkah aku memotretmu? Dia menggeleng. Dengan satu paket film kita dapat mengambil sepuluh foto – yang sekarang tersisa sembilan. Dia tidak ingin dipotret, tapi aku berharap aku punya fotonya untuk kenang-kenangan hari itu. Karena kami tiba-tiba putus tak lama setelah itu. Dan sekarang aku tak bisa mencintainya, aku pun tak bisa membencinya lagi.

Kameranya sendiri aku bawa pulang untuk kemudian memotret keluargaku yang sedang berkumpul mengelilingi meja.

*

Aku biasa tidur berbaring telentang, dengan punggung sebagai tumpuan. Ketika perutku terasa tak enak, baru aku berguling ke sisi kiri dan tidur menghadap dinding. Tetapi tak peduli apapun posisi tidurku, salah satu lengan selalu mengulur – seperti sudah jadi keharusan – dan berakhir menggantung turun dari tempat tidur. Tiba-tiba, aku merasakan sensasi tanganku dipegang seseorang dengan lembutnya. Aku terbangun dengan kaget. Ruangan gelap. Kehangatan tetap terasa di telapak tanganku. Aku mencoba meregangkan jari-jari tangan yang menggantung dari tempat tidur. Aku merasa seperti ada seseorang yang menyelinap masuk – dia berbaring di lantai atau duduk di kaki tempat tidur, tapi tak terasa ada semacam gerakan sekecil apapun. Meski begitu aku bahkan tak punya niat untuk melompat dari tempat tidur atau cepat-cepat menyalakan lampu. Untuk beberapa alasan aku berpikir kalau melakukan sesuatu justru akan berakhir tak baik.

Sangat menyebalkan awalnya memang. Kehadiran itu membuatku takut – sangat menganggu sampai-sampai aku harus tidur dengan lampu menyala untuk waktu yang lama. Tapi sekarang aku cukup terbiasa dengan kehadiran itu. Perlahan-lahan, aku memberanikan diri. Maksudku, aku berharap sesuatu itu akan menampakkan diri ketika aku terjaga. Setelah beberapa saat aku menyalakan lampu. Tidak ada seorang pun di sana. Tidak ada jejak siapapun yang tertinggal. Pada awalnya aku bertanya-tanya mungkinkah itu salah satu hantu yang mendiami rumah ini. Atau itu roh nenekku yang sudah meninggal, atau bibiku, atau pamanku? Tapi sekarang aku tahu. Itulah dia.

*

Ayahku berasal dari Yeosu. Aku pernah di sana hanya sekali waktu saat aku telah dewasa. Aku tidak menyukai tempat itu karena di situlah ayahku dilahirkan. Terlalu banyak hal-hal buruk terjadi di sana.

Saudara-saudara ayahku selalu kebanyakan minum-minum – mereka selalu bertengkar dan menangis. Salah satu pamanku pergi ke laut lepas selama berbulan-bulan pada suatu waktu untuk menangkap ikan yang akan dijualnya di pasar. Ayahku meninggalkan kampung halamannya ketika ia berusia sembilan tahun, setelah ibunya meninggal.

Nenekku itu meninggal pada hari ulang tahunnya. Untuk pertama kalinya, kakekku, paman-pamanku yang pelaut, dan bibi-bibiku bisa berkumpul di satu tempat. Nenekku harus menunggu lama untuk hari itu. Dia memasak sup ikan kembung dan bunuh diri dengan memakan semuanya. Dan bukan sembarang hari – itu di hari ulang tahunnya.



Komentar