Pembunuhan - Andre Dubus

Pembunuhan

Andre Dubus
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Suatu pagi di bulan Agustus, ketika Matt Fowler memakamkan putra bungsunya, Frank—yang berusia 21 tahun, 8 bulan, dan 4 hari—putra tertuanya, Steve, terus saja memandangi Matt. Tidak lama kemudian, saat semua anggota keluarga telah berjalan meninggalkan lokasi pemakaman bersama kumpulan sanak-saudara, Steve berkata kepadanya: “Seharusnya aku bunuh dia.”

Steve berusia dua puluh delapan tahun, rambutnya yang kecokelatan mulai menipis di bagian depan, di mana dulu dia pernah memiliki jambul. Steve menggigit bibirnya sendiri, menyeka air mata yang mengalir, dan mengulang perkataannya tadi. Ruth semakin erat memeluk lengan Matt; sementara sang suami hanya bisa melemparkan tatapan kosong, tidak tahu harus berkata apa. Kedua mata Ruth tampak bengkak setelah tiga hari meratapi kepergian Frank.

Mendekati mobil limosin yang akan mereka tumpangi, Matt berhenti dan memutar tubuh. Dipandanginya liang kubur yang menampung sebentuk peti kayu tempat putranya berbaring, seorang pendeta yang tadi sempat kagok saat menyampaikan pidato pemakaman (walau pendeta itu tidak menunjukkannya), serta seorang direktur rumah duka yang sedang mengatakan sesuatu pada keenam pemuda pengusung peti.

Makam Frank terletak di atas bukit, menghadap ke Sungai Merrimack. Sayangnya dari tempat Matt berdiri, ia hanya bisa melihat anak sungai yang mengalir di seberang Sungai Merrimack. Entah kenapa, Matt malah mengalihkan pandangannya ke perkebunan apel yang ditanami pepohonan secara simetris menuju puncak bukit.

Esok paginya, Steve pulang ke Baltimore bersama istrinya; sementara Cathleen—adik Steve—pulang ke Syracuse bersama suaminya. Baik Steve maupun Cathleen telah menitipkan anak-anak mereka pada sejumlah teman dekat demi menghadiri pemakaman Frank.

Sebulan setelah Frank dimakamkan, Matt bermain poker di rumah Willis Trottier karena Ruth memaksanya. Sudah dua kali Matt diundang bermain kartu, dan ia kerap menolak ajakan kawan-kawannya karena tidak enak meninggalkan Ruth sendirian di rumah. Namun kali ini Matt tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti saran istrinya, terlebih setelah Ruth menasihatinya agar tidak terus-terusan bersembunyi di dalam rumah.

Di penghujung malam, saat permainan telah selesai, Willis mengantar teman-temannya sampai ke halaman rumah dan saling berpamitan di sana—kecuali Matt. Untuk Matt, ia menyisakan sedikit waktu lebih. Begitu yang lain telah pergi, Willis beranjak mengantar Matt sampai ke mobil.

Willis adalah seorang laki-laki bertubuh pendek, berambut keperakann, yang bergerak di bisnis restoran sejak Perang Dunia II berakhir. Di awal karirnya, Willis hanya memiliki rumah makan kecil: khusus menghidangkan sarapan pagi yang dimasaknya sendiri, dan makan siang untuk orang-orang yang bekerja di pabrik kulit dan sepatu. Sekarang, rumah makan tersebut telah dipugar menjadi besar.

“Pemuda itu masih bebas berkeliaran,” kata Matt lirih.

“Dia bahkan sempat datang ke restoranku semalam, duduk di meja bar bersama seorang wanita.”

“Hanya aku yang sama sekali tidak pernah melihatnya, mungkin karena aku jarang meninggalkan toko. Tapi Ruth selalu melihatnya—terlalu sering, bahkan. Siang tadi Ruth pergi ke supermarket Sunnyhurst untuk membeli beberapa keperluan, dan pemuda itu kebetulan ada di sana. Sekarang Ruth tidak lagi berani keluar rumah, pokoknya benar-benar tersiksa.”

“Bagaimana kalau kita ngobrol di dalam saja?” tawar Willis.


Komentar