Referensial - Loorie Moore
Untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun ini, mereka membicarakan hadiah ulang tahun apa yang pantas untuk putra perempuan itu, yang mengidap kelainan jiwa. Begitu sedikit barang yang boleh dibawa ke dalam ruangannya. Hampir semuanya dapat dijadikan senjata. Maka sering kali barang harus diserahkan di meja depan. Kalau ada permohonan, barulah barang itu dibawa ke dalam oleh petugas—yang akan terlebih dulu memeriksanya kalau-kalau dapat melukai. Pete membawa sekeranjang selai. Namun karena wadahnya berupa toples kaca, barang itu tidak diperbolehkan untuk dibawa masuk. “Aku lupa,” kata Pete. Toples-toples itu disusun berdasarkan warna, dari yang paling terang yaitu selai jeruk, beri, lalu ara, seakan-seakan isinya berupa urine milik orang yang sakitnya bertambah-tambah parah. Memang sebaiknya disita saja, pikir perempuan itu. Mereka akan mencari hadiah lainnya.
Pete sudah hadir dalam kehidupan mereka selama enam tahun, sewaktu putra perempuan itu berusia dua belas tahun dan baru mulai linglung, berkomat-kamit diam-diam, dan berhenti menyikat gigi. Kini empat tahun telah berlalu sejak itu. Cinta mereka pada Pete panjang dan berlika-liku, dengan kelok-kelok tersembunyi tanpa benar-benar ada pemberhentian. Putra perempuan itu menganggap Pete semacam ayah tiri. Perempuan itu dan Pete menua bersama, walau tanda-tandanya lebih tampak pada si perempuan. Ia mengenakan blus terusan berwarna hitam supaya terlihat ramping. Rambutnya yang mulai kelabu tak disemir, sering kali dijepit dengan helai-helai menjuntai bak lumut Spanyol. Segera setelah putranya ditelanjangi, dipakaikan baju pasien, dan menetap di rumah sakit, ia juga melepaskan kalung, anting, syal—segala perangkat artifisial untuk mengganti anggota tubuhnya yang rusak atau hilang, begitu katanya mencoba menghibur Pete—dan menaruh semuanya itu di dalam map berkantong banyak di bawah tempat tidur. Ia tidak diperbolehkan mengenakan perhiasan selama kunjungan ke rumah sakit, maka ia tidak mengenakannya lagi sama sekali, semacam tenggang rasa pada anaknya, seperti menjanda kembali kendati ia memang sudah menjanda. Tidak seperti wanita lain pada usianya (yang cenderung berusaha terlalu keras, dengan pakaian dalam mengerikan dan perhiasan berkilauan), kini ia merasa bahwa upaya semacam itu menggelikan. Maka sewaktu bepergian penampilannya pun menyerupai wanita Amish, atau, bisa jadi lebih buruk bila cahaya musim semi yang tanpa ampun menyambar wajahnya, seperti pria Amish. “Buatku, kamu selalu kelihatan cantik,” Pete tidak pernah bilang begitu lagi.
Pete kehilangan pekerjaannya akibat resesi ekonomi baru-baru ini. Pete sempat menetap tinggal bersama perempuan itu, namun persoalan si anak yang menjadi-jadi membuatnya mundur. Pete bilang ia mencintai perempuan itu, namun tak bisa mendapatkan ruang yang dibutuhkannya untuk dirinya sendiri dalam hidup si perempuan, atau di rumah si perempuan. (Pete tidak menyalahkan putranya—atau iya?) Tampak sedikit kecemburuan dalam tatapan Pete, perkataannya pun masam, terarah ke kamar depan—tempat putra perempuan itu selagi di rumah, mendekam dalam balutan selimut tebal, dengan wadah es krim yang kosong, Xbox, dan DVD.
Komentar
Posting Komentar