Sekamar Bersama Penyair dan Novelis - Sheila Heti

Sekamar Bersama Penyair dan Novelis

Sheila Heti
Penerjemah: Arif Abdurahman - Arip Blog


Si penyair masuk diam-diam ke kamar si novelis, sementara si novelis sudah tertidur, tidur yang nampak menjemukan seperti sebuah bau yang melewati hidungnya. Si penyair berdiri di ambang pintu, memperhatikan, menyandarkan diri di kusen pintu.

Dia menyukai teman sekamarnya. Tapi bukan suka yang begitu. Pukul empat pagi dan mengapa si penyair masih terjaga? Tidur adalah beban bagi orang seperti dia. Namun di sini justru ada seorang pria yang tidur sepanjang malam.

“Dia pasti lagi punya masalah,” pikir si penyair, sebelum berbalik dan pergi tidur. Sambil melangkah dengan berjinjit melalui lorong ia bertanya pada dirinya sendiri diam-diam, “Apa yang kulakukan di kota ini? Bahkan melihat awan aku merasa aku telah kehilangan imajinasiku.”

*

Pada hari pertama kerja si wanita di kantor si penyair membantunya mengangkati kotak-kotak dus, tapi saat ia membantunya ia berpaling.

“Apa kau tahu ini adalah hari sakit ketujuh puluhku sejak aku mulai kerja di sini?” si penyair bertanya.

“Tapi kau masih di sini,” kata si wanita.

“Ya, aku tahu.” Dan si penyair pergi ke toilet dan kencing darah.

Ketika ia kembali si wanita duduk tegak, mengetik di komputernya seperti anak gadis penurut. Si wanita tampak seorang yang bisa diajak asyik dan inilah yang menyebabkan si penyair, dengan mata terkulai dan lelah, bersandar di bilik sekat dan berkata lurus ke wajah si wanita, “Ikutlah denganku setelah beres kerja. Aku akan menunjukkan tempat keren untuk minum di sekitar sini.”

“Aku akan ikut, pasti,” kata si wanita, menengadah, dan tidak ada maksud berbohong, hanya senyum lebar dan mata penuh kebencian yang hanya perempuan pahami.

Ketika jam kerja berakhir si penyair menggenggam lengan si wanita dan membawanya ke The Poodle, yang kumuh dan jelek dan tidak ada kamar kecil buat seorang perempuan. Si penyair melihat ke sekeliling. Si wanita memakai bra begitu ketat di balik bajunya.

“Duduk di sini di stan ini,” kata si penyair, mendorong tubuh si wanita dengan kedua tangannya, “dan aku akan ambilkan soda.”

“Aku ingin tambahan gin dalam sodaku,” kata si wanita penuh harap, dan si penyair berjalan pergi dengan rasa tidak suka. Dasar wanita-wanita modern. Mereka tidak tahu adat sopan santun.

Ketika si penyair kembali dengan membawa minuman ia menyelinap masuk ke dalam stan dan mulai bergerak-gerak tak jelas karena kebosanan saat ia mendengarkan cerita si wanita.


Komentar