Waham - Malika Moustadraf
Ia keluar dari rumah sambil menyerapahi segala sesuatu sekeras-kerasnya—mulai dari kedua orang tua yang membawanya ke dunia busuk ini hingga kakaknya yang telah menikah dengan orang Perancis, ikut ke negara suaminya, dan ingkar janji. Ia ingat ucapan kakaknya sewaktu di bandara:
“Aku kawin dengan orang Kristen ini demi kau. Satu bulan, dan kau akan memiliki semua dokumen yang diperlukan untuk menyusulku ke sana. Jangan khawatir!”
Ia memercayai kakaknya. Sekarang sebulan telah berlalu, dengan menyeret bulan-bulan lainnya yang menjemukan lagi membosankan, semuanya sama memuakkan, dan kakaknya ingkar janji. Ia capek melihat ibunya pulang sore-sore dengan membawa pakaian bekas serta sisa makanan dari majikan. Ia capek melihat ayahnya merana di pojok kamar sambil mengisap rokok, penampilan lelaki bangkot itu sudah menyerupai orang-orangan sawah saja. Lebih-lebih lagi capeknya karena berdiri di ujung jalan dengan sekeranjang dus rokok di depannya, berjualan eceran. Ia mengisap rokok lebih banyak daripada yang ia jual.
Di jalanan ia suka mengamati orang-orang yang melintas, dan duduk bersama Hamu, yang mengawasi mobil-mobil yang terparkir demi mendapat uang, serta memberitahukan apa pun dan segalanya tentang para tetangga padanya, dan tentang orang-orang yang dikenalnya (ataupun tidak). Ia suka menggoda para gadis nyaris telanjang yang lalu-lalang, dan mereka menatapnya dengan amat muak, seakan-akan dirinya sepotong makanan menjijikkan yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa. Suara biduanita membahana dari radio yang disetel dengan volume maksimal, separuh melenguh, separuh mendengus, mengungkapkan betapa terkekang dan terangsangnya ia: “Memeluknya, mendekapnya, menciumnya ….”
Lagu itu menyalakan sesuatu di dalam dirinya, mencetuskan rasa lapar akan segala macam hal, dan ia merasakan Nafsu buas nan primitif, yang berdiam di suatu tempat dalam badannya, melepaskan lolongan nan kemaruk dan keji. Matanya menyambar bokong-bokong montok yang berseliweran. Gerakan bokong-bokong itu saat terangkat lalu berguncang begitu mesum, mendebarkan, dan mencekam. Ke mana pun ia menoleh dilihatnya tetek-tetek yang bengkak terarah pada barang di bawah perutnya, membuatnya bangkit. Tetek-tetek itu menggilas nyalinya dengan brutal dan garang, tanpa ampun. Ia berkonsentrasi menyesap kopi hitamnya, supaya tidak berbuat kegilaan yang bisa jadi akan disesalinya kemudian. Bahkan imam masjid saja tepergok beberapa kali oleh para bocah tetangga sedang mencuri pandang pada wanita-wanita muda seraya meraba barang di bawah perutnya yang buncit, sementara tasbihnya yang usang bergerit di sela-sela jemari. Kau punya alasan, wahai imam—jika Hawa saja menggoda Adam keluar dari Firdaus, maka wanita memang jelas-jelas pandai dalam menghilangkan martabat pria, ya kan?
Komentar
Posting Komentar