Nafas Terakhir - Joe Hill
Sebuah keluarga yang terdiri dari seorang pria, wanita, dan bocah laki-laki masuk untuk melihat-lihat. Saat itu belum lagi petang, matahari masih tinggi menggagahi bumi. Mereka adalah pengunjung pertama hari itu, dan bukan tidak mungkin satu-satunya pengunjung hari itu (museum tersebut memang tidak pernah seramai museum lain)—karenanya Alinger punya banyak waktu luang untuk memandu tamu-tamunya keliling museum.
Ia menemui mereka di ruang kedatangan. Sang Ibu berdiri dengan satu kaki masih berada di luar ambang pintu, seolah ragu untuk masuk lebih jauh ke dalam gedung itu. Ia melemparkan tatapan canggung ke arah suaminya, penuh keraguan. Sang Ayah malah membalas dengan kerutan dahi, seolah meremehkan keraguannya. Dengan kedua tangan, sang Ayah menggamit kerah overcoat yang ia kenakan, ragu apakah sebaiknya ditanggalkan atau tetap dikenakan saja di dalam museum. Alinger sudah pernah menyaksikan keraguan yang sama diekspresikan oleh ratusan pengunjung lain. Begitu mereka tiba di ruang kedatangan dan berkesempatan untuk celingak-celinguk lebih dalam, mereka biasanya mulai ragu. Interior museum yang gelap dan suram mengingatkan mereka akan rumah duka, membuat setiap pengunjung bertanya-tanya apakah mereka ada di tempat yang benar, apakah tidak lebih baik jika mereka keluar dari sana. Hanya si bocah laki-laki yang tampak santai tanpa beban, menanggalkan jaket yang ia kenakan, dan menyangkutkannya di salah satu gantungan khusus untuk anak-anak yang terpatri di dinding ruangan.
Sebelum para tamunya itu pergi, Alinger berdehem untuk menarik perhatian mereka. Tidak ada tamu-tamunya yang pernah pergi apabila mereka sadar kehadirannya telah diketahui oleh pengelola museum; dalam peperangan batin antara tatakrama dan keraguan psikis, biasanya tatakrama selalu menang. Alinger melipat kedua tangan dan tersenyum ke arah para tamunya, berharap senyumannya itu mampu meyakinkan mereka agar mau berkeliling museum. Namun, efek yang diharapkan justru berbalik. Alinger bertubuh kurus tinggi, persis tengkorak, dengan tinggi badan di atas dua meter. Pelipisnya mengkerut ke dalam dan dibayangi oleh usia. Giginya kecil, keabuan, dan tampak seolah telah ditata sedemikian rupa agar terjajar rapi. Usianya lebih dari delapan puluh tahun. Sang Ayah mundur selangkah. Sang Ibu secara refleks menggamit tangan putranya.
“Selamat pagi,” sapa si pengelola museum. “Nama saya Dr. Alinger. Silakan masuk.”
Komentar
Posting Komentar