Panas Dingin - Mailey Meloy
Ingatan pertamaku tentang musim dingin mengacu pada momen di mana aku ditinggal di dalam mobil van , di tengah gurun salju di Montana; sementara kedua orangtuaku, yang sedang pergi main ski, dikejar oleh seekor beruang.
Aku juga curiga sebenarnya; apakah ingatanku itu nyata. Karena rasanya seperti mimpi yang buram. Usiaku empat tahun kala itu, dan adikku berusia dua tahun. Mobil van yang kami tumpangi berwarna merah dan bermerk Volkswagen; jendelanya ditutupi tirai berbunga serta bagian belakang mobil diubah menjadi tempat tidur-tiduran. Bersama kami di dalam mobil itu adalah seorang pengasuh bernama Ann Amouski—bukan nama sungguhan, tapi yang kuingat mirip-mirip dengan itu—gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA. Dia pengasuh yang baik, tapi aku kebosanan. Ann mengadakan permainan untuk mengisi waktu. Dia akan menyembunyikan sebuah permen di salah satu sudut dalam mobil, lalu memintaku untuk menebak-nebak tempat persembunyian permen itu. Kalau aku semakin dekat dengan obyek pencarianku, dia akan bilang ‘panas’; kalau aku semakin menjauh, ‘dingin’. Di belakang kursi? Dingin. Di dalam laci
dashboard? Hangat. Dekat pedal gas? Membara. Di bawah kopling! Di situlah tempat persembunyiannya—permen
butterscotch yang bulat dan mulus serta terbungkus dalam plastik bening; sesuatu yang takkan pernah dibeli oleh kedua orangtuaku kecuali untuk perjalanan macam ini.
Kami bermain di salju, mengenakan jaket musim dingin kami, sementara sang pengasuh menyalakan mesin mobil dan pemanas di dalamnya. Kami duduk di dekat ventilasi udara yang menyemburkan udara hangat sambil menyeruput coklat panas dari dalam tutup termos. Jendela mobil tampak keputihan bercampur dengan hembusan napas kami.
Sementara itu, nun jauh di sana, di turunan bukit yang tak bisa kami lihat jelas dari tempat kami berada, kedua orangtuaku dengan asyik meluncur di atas papan ski mereka. Sepasang sejoli yang masih terikat status pernikahan. Mereka mengenakan celana, sweater dan topi yang terbuat dari bahan wol; dan dari kejauhan mereka tampak meluncur santai tanpa banyak kendala. Namun, dari dekat, olahraga itu membuat mereka berkeringat, dan kacamata yang dikenakan ayahku pun berembun. Hidung dan pipi mereka berubah kemerahan. Ayahku baru saja melontarkan lelucon yang membuat ibuku tertawa. Udara pegunungan menguarkan harum salju dan pohon pinus.
Komentar
Posting Komentar