Pernikahan adalah Urusan Pribadi - Chinua Achebe

Pernikahan adalah Urusan Pribadi

Chinua Achebe
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


“Kau sudah membalas surat ayahmu?” tanya Nene suatu sore sembari duduk-duduk bersama Nnaemeka di kamarnya di Jalan Kasanga No. 16, Lagos.

“Belum. Aku masih mempertimbangkannya. Kurasa lebih baik bila aku bicara langsung dengannya nanti saat aku cuti pulang!”

“Kenapa? Cutimu kan masih lama—masih enam minggu lagi. Seharusnya dia merasakan kebahagiaan kita sekarang,” kata Nene.

Lelaki itu terdiam sesaat, lalu berkata pelan-pelan seolah kata-kata berikutnya sangat sulit untuk ia utarakan. “Seandainya aku bisa yakin bahwa yang dia rasakan nanti adalah kebahagiaan.”

“Tentu saja dia akan merasa bahagia,” balas Nene dengan nada sedikit terkejut. “Kenapa tidak?”

“Kau hidup di Lagos seumur hidupmu, Nene,” ujar Nnaemeka. “Kau tidak tahu cara pikir orang yang hidup di daerah terpencil di negara ini.”

“Itu terus alasanmu. Tapi kurasa tak ada orang yang akan merasa sedih mengetahui putra mereka punya niat untuk menikah dan berkeluarga.”

“Kau salah,” celetuk Nnaemeka. “Mereka selalu sedih bila mereka tidak diberi kesempatan menjodohkan anak laki-laki mereka dengan calon istri pilihan mereka. Kasus kita justru lebih buruk lagi—kau tidak berasal dari suku Ibo.”

Hal ini terucap dari mulut laki-laki itu dengan nada serius dan terus-terang hingga Nene tak tahu harus menjawab apa. Di tengah atmosfir kota besar yang sarat akan keberagaman, ia selalu menganggap konyol adat kuno yang mengharuskan seseorang dari suku tertentu untuk mencari pasangan hidup dari suku yang sama.

Akhirnya wanita itu angkat suara: “Kau tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa ayahmu akan menentang pernikahan kita hanya karena masalah suku kan? Bukankah suku Ibo selalu terbuka terhadap suku-suku lain?”

“Ya, kami terbuka,” jawab Nnaemeka. “Tapi kalau sudah menyangkut masalah pernikahan, semua jadi rumit. Dan hal ini tidak hanya terjadi di suku Ibo saja. Bila ayahmu masih hidup dan tinggal di daerah asal suku Ibibio, aku yakin dia pasti bersikap sama seperti ayahku.”

“Entahlah,” kata Nene. “Meski begitu, kurasa ayahmu takkan menentang pernikahan kita. Dia sangat sayang padamu. Kalaupun dia marah, pasti dia akan segera memaafkanmu. Ayolah, jangan jadi penakut dan segera balas suratnya.”

“Aku tidak mau mengumumkan pertunangan kita lewat surat. Nanti dia syok. Aku yakin dia akan syok.”

“Baiklah, sayang. Terserahmu saja. Kau yang lebih paham soal ayahmu.”

Dalam perjalanannya pulang ke desa malam itu, Nnaemeka memikirkan berbagai cara untuk mengatasi kekecewaan ayahnya nanti, apalagi mengingat bahwa ia kini telah menemukan gadis yang ingin ia nikahi. Ia juga sempat berpikir untuk menunjukkan surat ayahnya kepada Nene, tapi setelah dipikir ulang ia memutuskan untuk tidak melakukan hal tersebut—setidaknya untuk sekarang ini. Nnaemeka membaca surat itu sekali lagi saat ia tiba di rumah keluarganya di wilayah perkampungan suku Ibo dan tak kuasa menahan senyum. Ia masih ingat terhadap Ugoye, seorang gadis yang bertingkah seperti wanita Amazon, yang suka memukuli para bocah laki-laki, termasuk dirinya, saat mereka tengah berjalan ke arah sungai, padahal di sekolah gadis termasuk yang paling bodoh.


Komentar