Pesan Dari Langit - Steve Almond
Aku sedang dalam perjalanan menemui Wilkes. Kami sudah janji untuk sarapan bersama. Wilkes adalah seseorang yang kukenal sejak masa kuliah dulu. Ia merupakan pemain nomor satu dalam cabang olah raga squash di kampus. Aku pernah menantangnya sekali, saat sedang iseng-iseng main squash, dan dia mengalahkanku dengan pukulan-pukulan telak. Tak lama setelah ia mengalahkanku, Wilkes membuka rahasianya kepadaku di kamar ganti.
“Visi,” katanya. “Kau harus bisa memprediksikan apa yang akan terjadi.”
Sekarang lima tahun sudah berlalu sejak saat itu, namun aku masih merasa seolah aku berhutang budi padanya. Aku sadar ini perbuatan bodoh, tapi aku tidak bisa menolak ajakannya. Aku terus mengingat pukulan-pukulan jitu yang ia lemparkan dulu—indah dan elegan seperti putaran payung parasol.
Ketika aku tiba di restoran, Wilkes sudah duduk di salah satu booth di bagian belakang. Kami saling menyapa dan Wilkes mengangkat menu yang ada di atas meja, lalu menurunkannya lagi.
“Kita sudah lama berteman kan, Jim?”
“Tentu saja,” kataku.
“Sekitar delapan tahunan ya.”
“Kira-kira segitu.”
“Kau takkan berpikir yang macam-macam tentangku kalau kuceritakan sebuah rahasia penting kepadamu, kan?”
“Tentu saja tidak,” kataku. Sebenarnya yang ada di kepalaku sekarang hanyalah pertanyaan mengenai harga sarapan di restoran ini dan apakah aku harus membayar bon makan kami nanti.
“Di kepalaku tertanam sebuah alat perekam,” kata Wilkes.
Matanya berkedut dan menerawang, sama seperti yang sering terjadi pada sejumlah bintang film ternama. Wilkes mengenakan sepotong blazer biru dengan kancing yang terselip di balik sulaman kain. Ia tampak seperti seorang pialang saham. Itu pekerjaannya sekarang: jual-beli saham.
Komentar
Posting Komentar