Teresa - Italo Calvino
Aku menjauh dari trotoar, berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah tengadah, lalu dari tengah jalan, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, aku berteriak sekeras-kerasnya: “Teresa!”
Bayangan tubuhku berusaha bersembunyi dari sinar bulan yang temaram, jatuh bagai gumpalan kelam di kaki.
Seseorang melintas di jalan yang sama. Sekali lagi aku berteriak: “Teresa!”
Pria asing yang barusan kebetulan lewat berkata, “Kalau kau tidak berteriak lebih keras, dia takkan mendengarnya. Mari kita berdua mencoba. Aku hitung sampai tiga, dan di hitungan ke-tiga kita teriak berbarengan.” Lalu ia memberi aba-aba: “Satu, dua, tiga.” Dan serentak kami menarik pita suara setinggi-tingginya: “Tereeeeeeeeeeeesaaa!”
Sekelompok muda-mudi dalam jumlah yang tak terlalu banyak juga kebetulan melintas di jalan yang sama. Mereka baru saja kembali dari bioskop atau café di ujung jalan, dan tak sengaja melihat kami berdua yang sibuk teriak-teriak. Kata mereka, “Ayo, kami juga akan membantumu.” Setelah itu, mereka ikut berdiri di tengah jalan, dan beramai-ramai kami berteriak: “Te-reee-saaa!”
Seorang lain kemudian melintas di jalan yang sama dan memutuskan untuk bergabung dengan kami; seperempat jam kemudian, ada sekitar dua puluh orang bergerombol di tengah jalan. Setiap beberapa menit, seseorang pasti mampir dan menyumbangkan suaranya.
Ternyata, mengatur agar kami bisa berteriak ramai-ramai secara terpadu bukanlah hal yang mudah. Ada saja di antara kami yang mulai berteriak sebelum hitungan ke-tiga, atau yang berteriak terlalu panjang—meski, ujung-ujungnya, kami sukses menghasilkan teriakan yang lantang. Kami pun setuju bahwa saat meneriakkan nama Teresa, suku kata awalnya, “Te” harus diteriakkan dengan rendah dan panjang; suku kata tengahnya, “re”, tinggi dan panjang; sementara suku kata akhirnya, “sa”, rendah dan pendek. Hasilnya, lumayan. Hanya ada sedikit kekeliruan di antara mereka yang salah mencetuskan nada.
Komentar
Posting Komentar