Pangeran Katak - Robert Coover
Pada mulanya terasa luar biasa. Sungguh. Sudah pasti begitu. Perempuan itu merengkuh seekor katak, mengharapkan yang lebih, dan—kejutan ! Hadirlah seorang pangeran tampan yang tergila-gila akan dirinya. Jelaslah ini berarti akhir dari pernikahan perempuan itu. Namun mantannya dulu pun menyerupai katak, dengan kebiasaan jorok mengunyah sambil berbicara dan lidahnya sama sekali tak berguna selain untuk menjilati perangko.
Sambil menggeliat-geliut cemburu, kawan-kawan si perempuan di klub bridge pun mengakui bahwa sang pangeran menawan hati—kendati penampakan lelaki itu masih mencirikan habitatnya yang dulu. Matanya berkelopak tebal. Mulutnya selebar mulut boneka-tangan. Mukanya pucat. Kulitnya yang kendor tipis dan lembap. Maninya terasa berlumpur seperti kolam tempatnya berasal. Kemaluannya yang kecil pun mengecewakan. Namun lidahnya menakjubkan. Lidah itu mampu menjamah ceruk-ceruk terdalam, membangkitkan sensasi yang belum pernah dialami perempuan itu sebelumnya. Mahkotanya tak terpasang selayaknya topi melainkan mencuat dari kepalanya bagaikan tanduk, dan kadang-kadang mengganggu. Biarpun begitu, lidah itu cukup panjang untuk menggerayangi sekalian menggelitik bagian-bagian lain yang dilaluinya. Lidah itu tak lantas menjadikannya cadel sebagaimana suaranya yang terdengar bak bunyi seruput berkonsonan, pun mampu merepetkan cumbu rayu. Namun mereka tak begitu sering berbicara pada satu sama lain.
Sewaktu sang pangeran masih berwujud katak dan mereka baru mulai senang berciuman, perempuan itu menyadari bahwa menjilati makhluk itu di bagian mana pun akan memberinya halusinasi yang memabukkan. Memang kemudian metamorfosis terjadi. Namun perempuan itu terus melakukannya pada sang pangeran—seringnya pada bagian bawah. Lelaki itu bukanlah pangeran paling resik, namun efek yang ditimbulkan dari menjilatinya sungguh memuaskan. Perempuan itu terbawa ke lain alam, serupa kerajaan dongeng di mana segala yang diimpikan dapat dimilikinya: kekayaan, kecantikan, selemari pakaian keren, kelihaian bermain bridge , cokelat berisi krim yang kalorinya nol, dan cinta kapan pun dibutuhkannya—yakni pada kebanyakan waktu, kendati ia sedang mengurus hal lainnya seperti mengatur perjamuan mewah atau meninjau pengawal istana. Tinggal buk, duak, blam! Indahnya! Segalanya memudar begitu mabuknya hilang, namun sekali jilatan dan ia pun kembali.
Kehidupannya yang dulu ideal mulai terasa tak berarti. Kapan pun ia meminta sang pangeran untuk mengirimnya ke kerajaan sungguhan, lelaki itu selalu membawanya kembali ke kolam tempat perempuan itu menemukannya. Lelaki itu merasa bahagia di sana. Ia akan merayap ke lumpur, terus menggali hingga hanya matanya yang menyembul menatap. Puncak kepalanya tampak mengambang di permukaan. Di rumah, matanya terkadang membuka lebar-lebar dan mendelik; pada lain waktu, terutama selagi makan, keduanya terbenam dan nyaris menghilang. Namun di kolam mata itu selalu terbeliak. Kadangkala ia menjulurkan lidahnya dan bertahak. Perempuan itu pun memasuki lumpur bersamanya. Rasanya tidak seperti di kerajaan khayalan, namun tetap menyenangkan.
Kekerapan tahak sang pangeran mencederai martabatnya yang agung, namun itu pula sisi memikat dari dirinya. Kala bertahak, selalu sambil ditatapnya perempuan itu dengan mesra. Kala wujudnya masih berupa katak, sesekali kulitnya luruh lalu dimakannya. Untunglah, sang pangeran tidak berbuat seperti itu lagi, kendati terkadang lidahnya masih doyan mencaplok apa pun yang menetes atau mengelupas sehingga mengacaukan nafsu makan si perempuan. Sekitar sebulan sekali, ia mencopot pakaiannya dan memanjat punggung perempuan itu. Berhari-hari, kakinya yang kurus mengunci di sana. Jemarinya yang panjang mengusap bokong perempuan itu dengan lembut. Bantalan jempolnya menempel di ketiak seperti Velcro [1] . Perempuan itu tak bisa melepaskan sang pangeran dari punggungnya, hanya mampu menunggu sampai apa pun yang diperbuat lelaki itu tuntas. Mungkin saja itu suatu perbuatan cabul—syukurlah perempuan itu tak dapat melihatnya. Tentunya ia harus mencuci rok dan blusnya setelah itu. Dengan sang pangeran melekat di punggungnya, sulit pula bagi perempuan itu untuk berbelanja atau menata rambut. Selain itu, ia harus duduk menyamping baik di kursi maupun di toilet. Namun yang terburuk dari momen seperti ini adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh ekstase. Andai saja lidahnya sepanjang milik lelaki itu!
Begitu sang pangeran turun, belum lagi mengenakan pantalonnya yang mewah, perempuan itu langsung menyurukkan hidung ke bawah sana, mengisap madat sebagaimana biasa, dan menjilati jalannya kembali menuju kerajaan dongeng. Pada suatu siang (atau malam, tak pernah bisa dipastikan di tempat seperti itu) sewaktu perempuan itu sedang telentang di dekat gawang kriket di padang istana yang disirami cahaya mentari (atau bulan?), tersemat dalam euforia akan segala hal—ya Tuhan! matanya membeliak serupa sang pangeran—lelaki itu bertanya dengan suaranya yang seperti bunyi seruput. Bahagiakah perempuan itu di sana?
Komentar
Posting Komentar