Alkisah Setabung Lem - Etgar Keret

Alkisah Setabung Lem

Etgar Keret 
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Katanya, “Jangan disentuh.” Maka aku bertanya, “Apa ini?”

“Lem,” jawabnya. “Lem khusus. Superglue.”

Dan aku tanya lagi: “Untuk apa kau beli itu?”

“Karena aku butuh,” katanya. “Ada banyak hal yang harus kurekatkan.”

“Tidak ada yang perlu direkatkan,” hardikku. “Aku tidak mengerti kenapa kau harus membeli barang-barang tak berguna macam ini.”

“Alasannya sama dengan alasanku menikahimu,” celetuknya balik. “Sekadar untuk membunuh waktu.”

Aku sedang tidak ingin bertengkar, maka akhirnya kuputuskan untuk diam saja. Dia juga melakukan hal serupa. “Memang lem ini berkualitas tinggi?” tanyaku. Dia menunjukkan foto yang tertera di atas kotak pembungkus lem, di mana figur seorang laki-laki tampak menggantung terbalik dari langit-langit ruangan. Seolah lem itu dioles di alas sepatunya.

“Mana ada lem yang bisa merekatkan orang seperti itu di langit-langit ruangan,” kataku. “Mereka pasti mengambil foto itu dengan metode terbalik. Orang itu berdiri di atas lantai yang didesain menyerupai langit-langit. Perhatikan posisi jendela ruangan dalam foto itu. Jepitan penahan tirai tampak terbalik. Ayo, lihat.” Aku menunjuk ke arah jendela dalam foto yang sama. Dia tidak menoleh barang sedikitpun. “Sekarang sudah pukul delapan,” kataku. “Aku harus berangkat.” Kuangkat tas kerjaku dan kukecup pipinya. “Aku akan pulang telat malam ini. Aku—”

“Aku tahu,” sahutnya. “Kau banyak pekerjaan.”

Aku menelepon Mindy dari kantor. “Hari ini aku tidak bisa menemuimu,” kataku. “Aku harus pulang lebih cepat dari biasanya.”

“Kenapa? Ada masalah apa?”

“Tidak ada. Hanya saja aku curiga dia sudah mulai merasakan ada yang janggal di antara kami.”

Hening itu berlangsung lama. Aku bisa mendengar deru napas Mindy di seberang saluran telepon.

“Aku tidak mengerti kenapa kau tidak meninggalkannya saja,” bisik wanita itu pada akhirnya. “Kalian toh sudah tidak ada kecocokan lagi. Kalian bahkan terlalu malas untuk bertengkar. Aku tidak mengerti kenapa kau bisa terus-terusan begini. Apa yang membuatmu begitu lengket dengannya? Aku tidak mengerti,” lanjut Mindy. “Pokoknya aku tidak mengerti…” lalu dia mulai menangis.

“Jangin menangis, Mindy,” kataku. “Dengar,” kataku berbohong. “Aku harus pergi, ada tamu yang baru saja masuk. Aku akan menemuimu besok, aku janji. Nanti kita bicarakan semua ini.”


Komentar