Buka Ritsleting - Etgar Keret

Buka Ritsleting

Etgar Keret 
Penerjemah: Arif Abdurahman - Arip Blog


Ini dimulai dengan ciuman. Hampir selalu dimulai dengan ciuman. Ella dan Tsiki berada di tempat tidur, telanjang, dengan hanya lidah mereka yang saling beradu—kemudian Ella merasakan sesuatu yang menusuknya. “Apakah aku menyakitimu?” Tanya Tsiki, dan ketika Ella menggeleng, ia segera menambahkan, “Kau berdarah.” Dan memang berdarah, dari mulut. “Maafkan aku,” kata Tsiki, dan ia mulai panik mencari-cari di dapur, menarik cetakan es batu dari freezer dan memukul-mukulnya ke meja. “Ini, ambil ini,” kata Tsiki, sambil menyerahkan beberapa es pada Ella dengan tangan menggigil, “letakkan di bibirmu. Ini akan menghentikan pendarahan.” Tsiki selalu cekatan dalam hal-hal begini. Saat di tentara dia seorang paramedis. Dia seorang pemandu wisata terlatih juga. “Maafkan aku,” ia melanjutkan, berubah pucat, “aku pasti menggigitmu. Kau ngerti lah, pas lagi panas-panasnya.””Ga——pa” Ella tersenyum pada Tsiki, es batu menempel di bibir bawahnya. “ja——an kha——tir.” Yang merupakan kebohongan, tentu saja. Karena ses——tu telah te——di. Hal ini tidak lazim bahwa seseorang yang telah lama tinggal bersamamu membuatmu berdarah, dan kemudian membohongimu dan mengatakan ia menggigitmu, ketika kamu dengan jelasnya merasakan sesuatu menusukmu.

Mereka tidak berciuman selama beberapa hari setelah kejadian itu, karena lukanya. Bibir adalah bagian yang sangat sensitif dari tubuh. Dan kemudian, ketika mereka bisa, mereka harus sangat berhati-hati. Ella tahu Tsiki menyembunyikan sesuatu. Dan benar saja, satu malam, mengambil keuntungan dari fakta bahwa Tsiki tidur dengan mulut terbuka, Ella dengan lembut menyelipkan jarinya di bawah lidah Tsiki—dan menemukannya. Itu ritsleting. Sebuah ritsleting amat kecil. Tapi ketika dia menariknya, seluruh tubuh Tsiki terbuka seperti tiram, dan di dalamnya ada Jurgen. Tidak seperti Tsiki, Jurgen punya jenggot, cambang yang tercukur rapi, dan penis yang tidak disunat. Ella mengawasinya dalam tidurnya. Dengan sangat, sangat pelan dia melipat pembungkus Tsiki dan menyembunyikannya di lemari dapur di belakang tempat sampah, tempat mereka biasa menyimpan kantong sampah.

Hidup dengan Jurgen tidak mudah. Untuk seks memang fantastis, tapi dia kebanyakan minum-minum, dan ketika dia melakukannya, dia akan bikin ribut dan terlibat ke segala jenis situasi memalukan. Di atas semua itu, dia suka membuat Ella merasa bersalah karena dia yang menjadi alasan kenapa Jurgen meninggalkan Eropa dan pindah untuk tinggal di sini. Setiap kali sesuatu yang buruk terjadi di negeri ini, apakah itu dalam kehidupan nyata atau di TV, ia akan mengatakan padanya, “Lihat apa yang negaramu lakukan.” Bahasa Ibrani Jurgen payah, dan bahwa kata “kamu” selalu terdengar sangat menuduh. Orangtua Ella tidak menyukainya. Ibunya, yang begitu menyukai Tsiki, menyebut Jurgen seorang goy. Ayah Ella akan selalu bertanya tentang pekerjaan, dan Jurgen akan terkikik dan berkata, “Pekerjaan seperti kumis, Tuan Shviro. Itu sudah ketinggalan zaman.” Tak seorang pun yang merasa itu lucu, apalagi bagi ayah Ella, yang masih menumbuhkan kumisnya.

Akhirnya, Jurgen pergi. Dia kembali ke Düsseldorf untuk membuat musik dan hidup lebih bermanfaat. Dia tidak pernah bisa mewujudkan impiannya jadi penyanyi di negeri ini, sebut Jurgen, karena mereka akan terus mencibir aksennya. Orang di sini begitu berprasangka. Mereka tidak suka orang Jerman. Ella berpikir bahwa bahkan di Jerman musik aneh dan lirik klisenya tidak akan benar-benar membuatnya sukses. Jurgen telah menulis sebuah lagu tentang Ella. Lagu berjudul “Dewi” dan semuanya adalah tentang hubungan seks di sisi pantai dan tentang bagaimana ketika Ella datang, itu “bagai gelombang yang memecah batu” —dan ini diambil dari sebuah kutipan.

Enam bulan setelah Jurgen pergi, Ella mencari kantong sampah dan menemukan pembungkus Tsiki. Mungkin suatu kesalahan telah membuka ritsleting tadi, pikirnya. Bisa jadi. Dengan hal-hal seperti itu sulit untuk mengatakan dengan pasti. Malam itu juga, sementara dia menggosok gigi, ia memikirkan kembali ciuman itu, lebih dari rasa sakit karena ditusuk. Dia berkumur dengan banyak air dan melihat ke cermin. Dia masih memiliki bekas luka, dan ketika ia mengamatinya dari dekat, ia melihat ritsleting kecil di bawah lidahnya. Ella merabanya ragu-ragu, dan mencoba membayangkan bakal seperti apa dia yang ada di dalam. Ini membuatnya sangat berharap, tetapi juga sedikit bikin khawatir—terutama jika mendapat tangan yang berbintik-bintik dan kulit kering. Mungkin dia memiliki tato, pikirnya, bergambar mawar. Dia selalu ingin punya tato, tetapi tidak pernah memiliki keberanian. Dia pikir itu akan sangat menyakitkan.

*

Diterjemahkan dari cerita “Unzipping” dalam “Suddenly, a Knock On the Door” karya Etgar Keret.


Komentar