Cinta Itu Buta dan Tuli - Jonathan Safran Foer

Cinta Itu Buta dan Tuli

Jonathan Safran Foer 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Adam dan Hawa hidup bahagia selama beberapa hari. Adam yang buta tak pernah melihat tanda lahir bebercak-bercak memanjang di pipi Hawa, atau giginya yang gingsul, atau kuku jarinya yang geripis. Hawa yang tuli tak pernah mendengar betapa payahnya narsisme Adam, betapa tak peka dan kekanak-kanakkannya dia dalam hal tertentu. Mereka baik-baik saja dengan keadaan itu.

Mereka makan apel dan kemudian terungkaplah segalanya. Hawa mengerti maksud penderitaan (yaitu tidak ada), dan Adam memahami kehendak bebas (menyangsikan istilah itu). Mereka tahu mengapa tanaman yang baru tumbuh berwarna hijau, dari mana angin sepoi-sepoi bermula, dan apa yang terjadi jika suatu kekuatan dahsyat bertemu benda tak bergerak. Adam melihat bintik; Hawa mendengar denyut. Adam melihat bentuk; Hawa mendengar bunyi. Tanpa menyadari proses lainnya yang menyebabkan itu, mereka sembuh total dari buta dan tuli. Sembuh pula dari kebahagiaan perkawinan mereka.

Masing-masing bertanya dalam hati, Apa yang terjadi padaku?

Mulanya mereka berselisih diam-diam, lalu mereka berputus asa sendiri-sendiri, lalu mereka menggunakan kata-kata baru secara rancu, lalu secara terang-terangan, lalu mereka mengandung Kain[1] , lalu mereka saling melempar ciptaan yang pertama-tama, lalu mereka memperdebatkan kepemilikan hal-hal remeh yang tak pernah dimiliki siapa-siapa. Mereka meneriaki satu sama lain dari sisi yang berlawanan di taman tempat mereka diasingkan:


Kamu jelek!

Kamu bodoh dan jahat!

Memar pertama pun tertoreh di lutut pertama, seiring manusia pertama membisikkan doa pertama: Ciutkanlah aku hingga aku dapat memikulnya.

Namun Tuhan tak mengabulkan doa mereka, atau mengabaikannya, atau memang tidak ada.


Komentar