Di Sini Perang, Di Sana Perang - Henri Barbusse

Di Sini Perang, Di Sana Perang

Henri Barbusse 
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Pegunungan Dent Du Midi, Auguille Verte dan Mont Blanc melihat ke bawah, ke arah wajah-wajah pucat yang menyembul dari balik selimut yang berjajar di sepanjang serambi sebuah sanatorium.

Di lantai pertama rumah sakit mewah tersebut, serambi yang dilengkapi dengan balkon berukir nampak terisolasi. Balkon itu mencuat keluar dari sisi gedung rumah sakit dan terlihat seolah melayang di udara.

Jajaran selimut wol — dalam warna merah, hijau, coklat tua atau putih — sama sekali tak bergerak. Wajah-wajah pucat yang menyembul dari balik lapisannya menunjukkan pandangan mata bersinar. Kesunyian menjajah jajaran kursi santai tersebut. Seseorang terbatuk. Lalu tak ada lagi yang terdengar kecuali suara halaman buku yang sedang dibalik, dan itu pun hanya sesekali saja; meski tak jarang pula terdengar suara lemah seseorang yang meminta sesuatu dengan nada tak jelas, yang kemudian dibalas dengan bisikan dari satu ranjang ke ranjang berikutnya. Atau terkadang, dari tepi balkon, terdengar kepak sayap segerombol burung gagak yang tengah melesat lepas di udara, mengejar jejak salah seekor di antara kelompok tersebut yang terbang memisah, menciptakan untaian manik hitam di tengah kosongnya langit.

Kesunyian itu masih terus menghantui. Orang-orang yang terbaring lemah dalam balutan selimut ini adalah orang kaya dan mandiri yang jauh-jauh datang kemari dari berbagai belahan dunia. Tertimpa kemalangan yang sama, mereka kini jarang banyak bicara. Mereka hanya bisa memendam perasaan dan memikirkan soal hidup dan mati.

Seorang pelayan wanita masuk ke dalam serambi. Langkahnya pelan; tubuhnya berbalut pakaian putih-putih. Ia membawa setumpuk surat kabar yang ia bagikan ke semua pasien.

“Nah, habislah kita,” kata pasien pertama yang menerima surat kabar tersebut. “Perang sudah diumumkan.”

Walau hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan, namun berita tersebut tetap meresahkan mereka yang mendengarnya.

Para pasien yang kini terbaring di serambi rumah sakit mewah tersebut adalah orang-orang terpelajar dan berbudaya yang pikirannya sarat akan penderitaan manusia dan perenungan. Mereka seolah terlepas dari segala hal, bahkan kehidupan, dan berada jauh dari masyarakat pada umumnya; seolah mereka berada di tengah-tengah generasi masa depan, nun jauh di sana, di mana manusia hidup di tengah kegilaan massal.

“Austria telah melakukan kejahatan,” ujar seorang pasien asal Austria.

“Prancis harus memenangkan peperangan ini,” kata seorang pasien asal Inggris.

“Semoga Jerman akan dikalahkan,” kata seorang pasien asal Jerman.

Mereka kembali mengeratkan selimut yang membalut tubuh masing-masing, kepala tertumbuk di atas bantal empuk, wajah menatap ke arah deretan puncak-puncak gunung dan hamparan langit biru. Namun kemurnian alam yang tersaji begitu apik di hadapan mereka tak mampu mengenyahkan keresahan yang menggantung di wajah. Kesunyian masih terus menghantui. Berita itu terngiang-ngiang di telinga mereka.

“Perang!”


Komentar