Hidup - Grace Paley

Hidup

Grace Paley 
Penerjemah: Norman E. Pasaribu - Fiksilotus


Dua minggu sebelum Natal, Ellen meneleponku dan bilang, “Faith, aku sekarat.” Minggu itu aku pun tengah sekarat.

Setelah kami ngobrol, aku merasa makin lemas. Kutinggalkan anak-anak di rumah dan pergi ke simpangan untuk satu sesapan kilat di antara makhluk-makhluk hidup. Tetapi Julie’s dan semua bar lain penuh oleh para lelaki dan wanita yang mereguk wiski panas sebelum bergegas pergi untuk bercumbu.

Orang-orang memang perlu tambahan tenaga sebelum menjalani lakon kehidupan.

Aku minum sedikit California Mountain Red * di rumah dan berpikir—kenapa tidak—ke mana pun kau menoleh, kau akan temukan orang-orang yang sibuk berteriak ‘beri aku kebebasan’ atau ‘kuantar maut untukmu’. Para tetangga yang rasional, kaya, dan takut Tuhan juga sibuk menutup telinga begitu mendengar suara sirene demi melindungi organ dalam mereka dari efek radiasi nuklir**. Kau bahkan harus menjulingkan matamu untuk bisa mencintai seseorang sepenuhnya, dan kau harus membutakan pengelihatanmu agar dapat melihat keluar jendela, ke jalan yang dingin laksana es.

Aku benar-benar sekarat. Aku terus mengalami pendarahan. Dokter bilang, “Kau tak bisa berdarah selamanya. Entah akhirnya kau kehabisan darah atau pendarahan itu berhenti. Tak ada orang yang bisa berdarah selamanya.”

Tapi nampaknya aku akan mengalami pendarahan selamanya. Ketika Ellen menelepon untuk menyampaikan bahwa ia sekarat, aku berkata dengan jelas: “Please! Aku juga sekarat, Ellen.”

Dan dia berkata, “Oh, oh, Faithy, aku tak tahu.” Dia berkata lagi, “Faith, apa yang akan kita lakukan? Tentang anak-anak. Siapa yang akan mengurus mereka? Aku terlalu takut untuk memikirkannya.”

Aku juga takut, tapi yang aku inginkan hanyalah agar anak-anak menjauh dari kamar mandi. Aku tak mengkhawatirkan mereka. Aku mengkhawatirkan diriku sendiri. Mereka ribut. Mereka pulang sekolah kelewat pagi dari biasanya. Mereka bikin kegaduhan.

“Kupikir aku masih punya beberapa bulan,” kata Ellen. “Dokter bilang ia tak pernah melihat seseorang dengan hasrat hidup sekecil ini. Ia pikir aku tak mau hidup. Tetapi Faithy, aku mau, aku sungguh mau. Aku hanya ketakutan.”

Aku tak bisa melepas kekhawatiranku tentang darah yang terus mengalir keluar dari tubuhku, menguras warna merah dari bawah kelopak mataku dan menghapus rona sengatan matahari dari pipiku. Darah itu mengalir naik dari ujung jari kakiku yang dingin demi mencari rute kabur tersingkat.


Komentar