Katakan Ya - Tobias Wolff

Katakan Ya

Tobias Wolff 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Mereka sedang mencuci piring bersama-sama. Istrinya yang mencuci sedangkan lelaki itu yang mengeringkan dengan lap. Lelaki itu yang mencuci pada malam sebelumnya. Tidak seperti kebanyakan lelaki lainnya yang dia kenal, dia benar-benar rela menyingsingkan lengan bajunya untuk pekerjaan rumah. Beberapa bulan sebelumnya dia mendengar seorang teman mengucapkan selamat kepada istrinya karena memiliki suami yang penuh perhatian. Pikirnya, aku berusaha. Membantu mencuci piring adalah cara yang dilakukannya untuk menunjukkan betapa penuh perhatian dirinya.

Mereka membicarakan berbagai hal. Entah bagaimana mereka sampai pada topik bagaimana bila orang kulit putih menikah dengan orang kulit hitam. Setelah mempertimbangkan banyak hal, menurutnya itu gagasan yang buruk.

“Kenapa?” istrinya bertanya.

Kening perempuan itu berkerut, bibir bawahnya digigit, sementara tatapannya terpaku ke suatu tempat. Dengan tampang seperti itu, lelaki itu tahu dia sebaiknya menutup mulut, tapi dia tidak pernah melakukannya. Sebenarnya itu membuatnya bicara lebih banyak. Istrinya menunjukkan tampang seperti itu sekarang.

“Kenapa?” istrinya bertanya lagi, tangannya di bagian dalam mangkok, tidak mencucinya melainkan memegangnya saja di atas keran.

“Dengar,” ujarnya. “Aku bersekolah dengan orang-orang kulit hitam. Aku bekerja dengan orang-orang kulit hitam, dan tinggal di jalan yang sama dengan orang-orang kulit hitam. Tidak pernah ada masalah di antara kami. Jangan mulai deh, diam-diam kau mau menuduhku rasis.”

“Aku tidak bermaksud apa-apa,” kata istrinya. Ia mulai mencuci mangkok lagi, memutarnya dengan tangan seolah-olah sedang membentuknya. “Aku hanya berpikir tidak ada yang salah kalau orang kulit putih menikah dengan orang kulit hitam, itu saja.”

“Kebudayaan mereka tidak sama dengan kita. Coba dengarkan mereka sesekali—mereka bahkan punya bahasa sendiri. Aku sih tidak masalah, aku suka mendengar mereka berbicara”—dia sungguh-sungguh; karena suatu alasan itu membuatnya merasa senang—“tapi itu berbeda. Orang dari budaya mereka dan orang dari budaya kita tidak pernah bisa benar-benar mengenal satu sama lain.”

“Seperti kau mengenalku?” tanya istrinya.


Komentar