Kecanduan Bir - Robert Coover

Kecanduan Bir

Robert Coover 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Dia sadar dirinya sedang duduk-duduk di bar sekitar sambil minum bir kira-kira pada waktu yang sama dengan ketika dia terpikir untuk pergi ke situ dan minum segelas. Sebetulnya dia sudah menghabiskan segelas. Mungkin dia akan minum satu lagi, pikirnya, sambil minum gelas kedua dan minta gelas ketiga. Ada seorang wanita muda duduk-duduk tidak jauh dari dia yang tidak begitu cantik tapi cukup cantik, dan barangkali pandai bercinta, dan memang begitu. Apakah dia menghabiskan birnya? Tidak ingat. Yang betul-betul penting adalah: Apakah dia menikmati orgasmenya? Atau apakah dia orgasme? Ini yang dipikirkannya ketika pulang menyusuri jalanan malam yang berkabut dari apartemen si wanita muda. Yang disesaki oleh banyak boneka bayi, semacam yang dimenangkan di karnaval-karnaval, dan mereka berjanji, seingat dia, untuk kencan di sana. Di situ wanita itu menang lagi—wanita itu memang jago. Lalu mereka ke apartemen wanita itu lagi, bugil, dan wanita itu memeluk boneka barunya di sebuah ranjang yang penuh oleh banyaak boneka serupa. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia tidur, dan dia lebih tidak yakin lagi, sementara terhuyung menapaki jalanan malam, yang masih berkabut, akan letak apartemennya sendiri, orgasmenya, jika dia mengalaminya tadi, sudah mengabur dari memorinya. Mungkin dia perlu mengajak wanita itu ke karnaval lagi, pikirnya, dan wanita itu pun memenangkan boneka bayi lagi (pada kencan kedua mereka, atau mungkin keempat), dan kali ini mereka minum-minum romantis di bar tempat mereka pertama kali jumpa. Di situ seorang pria berotot mulai mengganggu wanita itu. Dia turun tangan dan wanita itu menjenguk dia di ranjang rumah sakit sambil membawakan salah satu boneka bayi miliknya untuk menemani dia. Yang merupakan caranya untuk menunjukkan ikatan di antara mereka, atau begitulah yang dia duga, sewaktu dia meninggalkan rumah sakit dengan penopang ketiak, bingung di sebelah mana kota dirinya tengah berada. Atau pada tanggal berapa. Dia memutuskan bahwa inilah saatnya untuk menghentikan hubungan—wanita itu bikin dia edan—tapi si pria berotot hadir di pernikahan mereka dan minta maaf karena telah memukul dia waktu itu. Dia tidak sadar, ujarnya, betapa seriusnya hubungan mereka. Hadiah pernikahan dari pria itu berupa selembar kupon untuk dua minuman gratis di bar tempat mereka bertemu dan sepasang pita satin putih untuk tongkat penyangganya. Selama upacara pernikahan, keduanya membawa boneka bayi yang boleh jadi mengandung suatu makna yang agak tersembunyi, dan memang begitu. Anak yang dikandung wanita itu, anaknya atau anak orang lain, mengingatkan dia, seakan dia perlu mengingat itu, bahwa waktu melaju begitu cepat. Sekarang dia punya tanggung jawab dan dia memutuskan untuk mengecek apakah dia masih bisa bekerja di tempat yang dulu sewaktu dia pertama kali berjumpa istrinya. Dia masih bisa bekerja di situ. Tidak ada yang mempermasalahkan ketidakhadirannya, jika dia absen, tapi tidak ada juga yang memberi selamat atas pernikahannya. Itu tidak mengherankan sebab—sekarang dia ingat—sebelum dia bertemu istrinya, dia sudah bertunangan dengan salah seorang koleganya dan rekan-rekan mereka telah merayakan pesta pertunangan itu, jadi mestilah mereka marah karena uang yang dihabiskan untuk memberi hadiah. Itu memalukan dan suasananya kurang nyaman, tapi dia punya satu anak yang sudah TK dan satu lagi akan lahir, jadi mau bagaimana lagi? Nah, dia masih belum menukar kupon hadiah pernikahannya, jadi, pertama-tama, masa bodohlah, dia bisa minum segelas-dua bir, malah tiga pun dia sanggup. Ada seorang wanita muda duduk-duduk di dekat dia yang kelihatannya pandai bercinta, tapi wanita itu bukan istrinya dan dia tidak ingin menyeleweng, atau begitulah yang dia katakan pada dirinya, selagi duduk di tepi ranjang dengan celananya melorot di pergelangan kaki. Apakah dia tengah melucuti celana itu atau justru mengenakannya? Dia ragu, tapi kini dia memakai celananya dan terpincang-pincang pulang, penyangga ketiaknya yang berpita tertinggal entah di mana. Setibanya di apartemen, dia mendapati semua boneka bayi, yang asalnya ditaruh di rak begitu bayi-bayi mulai berdatangan, berserakan dengan kepala dan anggota tubuh terpotong-potong. Salah satu dari bayi-bayi itu menangis, maka, sambil menghangatkan sebotol susu di kompor, dia masuk ke kamar dan memberi bayi itu dot dan menemukan selembar catatan dari istrinya tersemat di piyama bayi itu, yang menerangkan bahwa wanita itu telah berangkat ke rumah sakit untuk melahirkan lagi dan dia sebaiknya sudah minggat ketika wanita itu kembali, sebab jika tidak wanita itu akan membunuhnya. Dia meyakini wanita itu, jadi dia segera ke jalanan lagi, sambil berpikir kalau-kalau dia sudah memberikan botol pada si bayi, atau itu masih mendidih di kompor. Dia melewati bar yang dulu dan tergoda namun memutuskan bahwa dia tidak perlu menambah masalah lagi dalam hidupnya dan hendak berjalan terus saat si raksasa yang dulu pernah menghajar dia menghentikannya dan memberinya sebatang rokok sebab pria itu baru saja jadi ayah dan menyeretnya ke bar untuk merayakan itu dengan segelas minuman, atau lebih, tak terhitung olehnya. Perayaan itu sudah berakhir, tapi, si ayah baru, yang telah menikahi wanita yang sama dengan yang mendepak dia, kini mencucurkan air mata ke dalam gelas bir atas kesengsaraan hidup berkawin dan menyelamati dia karena beruntung terbebas dari itu. Tapi dia tidak merasa beruntung, terlebih saat dia melihat seorang wanita muda duduk-duduk di dekat mereka yang kelihatannya pandai bercinta dan memutuskan untuk menyarankan mereka supaya pergi ke tempat wanita itu, namun terlambat—wanita itu sudah keluar bersama pria yang pernah menghajarnya dan mencuri istrinya. Maka dia pun minum lagi, sambil memikirkan di mana dia bisa tinggal sekarang, dan menyadari—si bartender lah yang berkata-kata sambil menawari dia bir lagi secara cuma-cuma—bahwa hidup itu singkat dan brutal dan sebelum dia menyadari itu dia keburu mati. Bartender itu benar. Setelah beberapa kali lagi bir dan orgasme, sebagian samar-samar saja teringat, sering kali tidak, salah satu putranya, yang kini pembalap mobil sekaligus pimpinan perusahaan tempatnya bekerja, mengunjungi dia pada akhir hidupnya dan, sambil minta maaf karena baru bisa datang (aku minum-minum dulu, Ayah, ada masalah), berkata bahwa ia akan merindukan dia tapi mungkin inilah yang terbaik. Apanya yang terbaik? tanyanya, namun putranya sudah pergi, kalau memang ada tadi. Yah … begitulah … hidup, ucapnya pada perawat yang datang untuk menghamparkan kain pada wajahnya dan membawanya pergi.[]


Diterjemahkan dari cerpen Robert Coover, “Going for a Beer”, dalam The New Yorker edisi 14 Maret 2011.


Komentar