Kedatangan Petugas Pajak - Mark Twain

Kedatangan Petugas Pajak

Mark Twain 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Yang pertama-tama menjadi perhatianku sewaktu aku “beristirahat” baru-baru ini ialah seorang pria yang mengaku sebagai juru taksir, istilah yang tidak begitu kumengerti. Kukatakan aku tidak pernah mendengar usaha seperti itu sebelumnya, namun aku senang berjumpa dengannya meskipun—akankah ia duduk? Ia pun duduk. Aku tidak tahu apa yang hendak dibicarakan, sekalipun begitu aku merasa bahwa orang yang telah mencapai kedudukan penting dalam urusan rumah tangga mestilah pandai bercakap, santai, dan ramah dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, karena tidak terpikir hendak membicarakan apa, aku bertanya padanya apa dirinya hendak membuka usaha di sekitar sini. Ia membenarkan. (Aku tidak ingin terlihat tidak tahu apa-apa, namun tadinya aku berharap ia akan mengatakan apa yang diusahakannya itu.)

Aku cukup berani menanyakan padanya, “Bagaimana penjualannya?” Dan ucapnya, “Lumayan.”

Lalu aku mengatakan kalau kami akan mengunjungi tempat usahanya itu, dan kalau kami tertarik begitu juga yang lainnya, kami akan mampir lagi.

Ia berkata menurutnya kami akan cukup tertarik dengan tempat usahanya itu hingga kami tidak hendak ke tempat lainnya lagi –katanya tidak pernah ada orang yang setelah berurusan dengannya lalu berpaling dan mencari orang lainnya lagi yang melakukan usaha semacam.

Kedengarannya agak terlalu percaya diri. Namun, terlepas dari raut licik yang sebetulnya wajar-wajar saja itu, ia tampaknya cukup terbuka.

Entah bagaimana kejadian persisnya, namun berangsur-angsur percakapan di antara kami sepertinya mulai semakin mencair, lalu segala sesuatunya berjalan dengan amat menyenangkan.

Kami mengobrol, mengobrol, dan terus mengobrol—setidaknya begitulah diriku; dan kami tertawa, tertawa, dan terus tertawa—setidaknya begitulah dirinya. Namun sedari mula pikiranku amatlah terjaga—kearifan yang sejatinya kumiliki aktif “sepenuhnya”, seperti para insinyur bilang. Aku bertekad untuk menyelidiki segala hal mengenai usahanya itu kendati jawabannya penuh teka-teki—dan aku bertekad akan mengorek hal tersebut tanpa menimbulkan kecurigaannya. Aku bermaksud memerangkapnya dengan akal-akalan. Aku membeberkan padanya tentang pekerjaanku sendiri; dan tentulah ia akan merasa amat senang kepadaku selama berlangsungnya aksi ramah-tamah ini sehingga ia pun lengah, dan ia akan memberitahuku segala hal mengenai usaha nya itu sebelum sampai kecurigaannya padaku. Aku terpikir untuk mengatakan padanya, “Bung, sedikit saja Anda menyadari betapa cerdiknya orang di hadapan Anda ini.” Namun yang kukatakan—


Komentar