Kembali ke Asal - Fernando Sorrentino

Kembali ke Asal

Fernando Sorrentino 
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Aku cenderung menerima begitu saja gagasan apa pun yang dikemukakan oleh sosiolog atau psikoanalis di acara televisi. Seorang pria berkacamata dan berjenggot sembari mengepulkan asap dari cangklongnya menyatakan dengan suara tinggi dan tak dapat disangkal lagi bahwa manusia modern telah menjadi objek, dan bahwa sedikit demi sedikit masyarakat konsumen telah melahap mereka.

Aku menjadi ketakutan dan sebuah proses mental yang memusingkan—yang tak ada gunanya dijelaskan, namun dapat dibayangkan dengan mudah—mendorongku untuk cepat-cepat mematikan televisi dan bergegas ke toko sepeda Suasorio Hermanos di lingkungan perumahanku di Villa Urquiza. Entah ada berapa orang Suasorio bersaudara itu sebab di toko hanya ada seorang lelaki sangat kurus dengan tulang pipi yang tinggi. Ia ternyata cerdas, efisien, dan sigap.

Sewaktu menawarkan sepeda kepadaku, caranya menyampaikan kalimat seperti seorang guru menjelaskan pada muridnya:

“Ini hal terbaik yang dapat Anda lakukan. Hidup telah menjadi begitu rumit. Sepeda itu simpel, dan sekalipun ini alat mekanis, tetapi memberikan hal-hal yang alamiah: udara segar, sinar matahari, dan olahraga.”

Aku setuju. Dengan kesenangan yang terasa agak kekanak-kanakkan, aku menaiki sepeda itu dan menyusuri jalan-jalan di Villa Urquiza dan Villa Pueyrredón. Dalam beberapa menit sampailah aku di Villa Lynch, di Santos Lugares, di El Palomar. “Hebat,” ucapku pada diri sendiri. “Kendaraan sederhana dan asketis ini membawaku menempuh jarak jauh dalam waktu cukup singkat.” Ya, tetapi seberapa jauh sebenarnya yang bisa kutempuh?

Karena aku membenci ketidakakuratan dan praduga, aku pergi menemui Pak Suasorio lagi. Kali ini ia memandangku dengan hawa serius dan ragu-ragu. Perubahan sikapnya itu dapat dimengerti.

“Ingat,” ucapnya, “Anda sendiri yang ingin kembali ke sini.”

Aku menjawabnya dengan rayuan singkat dan padat:

“Pelanggan yang puas selalu kembali pada pedagang yang jujur.”

Aku bertanya apakah menurutnya bagus kalau sepedaku ditambahi odometer.

Ia menghardikku: “Odometer tanpa spidometer itu seperti garpu tanpa pisau. Mereka melengkapi satu sama lain dan yang satu menjadi sebab yang lainnya diciptakan. Odometer akan menunjukkan seberapa jauh Anda berjalan sedang spidometer akan menunjukkan seberapa kuat pergerakan Anda.”

Aku akui ia benar. Dalam beberapa menit, dua alat tersebut telah dipasang di setang sepedaku.

“Orang berjalan-jalan tak keruan asyik dengan dirinya sendiri atau mereka itu memang terlahir dungu,” ucap Pak Suasorio. “Jadi jangan kaget kalau Anda menabrak orang linglung. Bagaimana dengan klakson listrik ini supaya perangkat sepeda Anda menjadi trio yang dahsyat?"


Komentar