Laki-laki di Dalam Sumur - Ira Sher

Laki-laki di Dalam Sumur

Ira Sher 
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Usiaku sembilan tahun ketika aku menemukan seorang laki-laki terjerumus di dalam sumur di sebuah ladang kosong yang telah lama ditelantarkan. Ladang itu tidak jauh dari rumahku. Lalu aku mendengar suara seorang laki-laki yang berteriak minta tolong jauh di dasar sumur.

Aku rasa penting bagiku untuk menegaskan bahwa pada waktu itu kami memutuskan untuk tidak menolong laki-laki tersebut. Semua temanku, termasuk aku, mungkin terpikir untuk segera mengambil tali, atau bertanya pada orang lain di mana kami bisa meminjam tangga. Tapi pada saat itu, kami menoleh ke arah satu sama lain, dan mengambil keputusan tersebut. Aku tidak ingat apakah kami sempat mendiskusikan alasan kenapa kami tidak bisa menolongnya, tapi aku ingat bahwa pada saat itu juga kami mengambil keputusan itu. Dan itu juga sebabnya aku tidak pernah mendekati bibir sumur, atau kalaupun aku berada di dekatnya, biasanya aku hanya merangkak ke arah sumur tersebut, agar laki-laki di dalamnya tidak bisa melihatku — di saat yang sama, kami pun tak melihatnya. Lagipula, sumur tersebut terlalu gelap dan dalam. Bahkan saat matahari sedang tinggi-tingginya, sinarnya hanya meraba dinding sumur yang memancarkan cahaya kekuningan.

Aku ingat kami masih tergelak oleh permainan petak umpat yang sedang berlangsung saat kami menyapa laki-laki itu. Ia mendengar suara kami yang sedang asyik bermain dan terus memanggil kami agar mendekat ke bibir sumur. Dari suaranya, ia terdengar sangat lega mendengar keberadaan kami.

“Aduh, segera keluarkan aku dari sini. Aku sudah berada di dalam sini selama berhari-hari.” Dia pasti tahu kami hanya sekelompok anak-anak, karena ia segera memerintahkan kami untuk “mengambil tangga dan mencari bantuan.”

Awalnya, takut menentang perintah laki-laki tersebut, kami buru-buru membalikkan tubuh dan melangkah ke arah rumah penduduk terdekat, yang tak lain adalah rumah Arthur. Namun semakin jauh kami melangkah, langkah kami pun semakin lambat; hingga akhirnya kami berhenti dan — setelah menunggu selama beberapa saat —perlahan-lahan mengarahkan langkah kaki kami kembali ke sumur.

Kami berdiri atau berbaring di sekitar bibir sumur dan mendengarkan suara-suara yang berasal dari dalam sumur selama setengah jam. Tak lama setelah itu, dengan sedikit ragu, Arthur memanggil ke dasar sumur, “Siapa namamu?” Pertanyaan yang cukup sederhana, pikir kami.

Laki-laki itu segera menjawab. “Kalian sudah mendapatkan tangga?”


Komentar