Mimpi - Julian Barnes

Mimpi

Julian Barnes
Penerjemah: Arif Abdurahman - Arip Blog


Aku bermimpi terbangun dari tidur. Mimpi yang tertua dari segala mimpi; aku baru saja mengalaminya. Aku bermimpi terbangun dari tidur.

Aku sedang di ranjangku sendiri. Sepertinya agak mengejutkan, tapi setelah berpikir sebentar, masuk akal juga. Memangnya di ranjang siapa lagi aku terbangun? Kulihat sekeliling dan bergumam, Wah, wah, wah. Bukan pemikiran yang hebat, kuakui. Tapi apa kita pernah menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat yang dahsyat?

Pintu diketuk dan seorang perempuan masuk, berjalan menyerong dan mundur sekaligus. Mestinya kelihatan wagu, tapi tidak juga; tidak, malah lembut dan bergaya. Ia membawa nampan, itu sebabnya dia masuk dengan cara seperti itu. Ketika ia berbalik, kulihat dia mengenakan sejenis seragam. Seorang perawat? Bukan, ia tampak lebih mirip pramugari maskapai penerbangan yang tak pernah kaudengar namanya. “Layanan kamar,” katanya dengan seulas senyum yang seolah berkata bahwa dia tidak terbiasa, atau aku yang tidak terbiasa mengharapkan sapaan itu; atau kedua-duanya.

“Layanan kamar?” ulangku. Di tempat asalku, sesuatu seperti itu hanya terjadi dalam film. Aku duduk di ranjang dan tersadar bahwa aku tak berbaju. Ke mana ya, piyamaku? Ini baru perubahan. Juga ketika aku duduk di ranjang dan menyadari bahwa perempuan itu bisa melihatku telanjang sampai ke pinggang, pahamilah, aku tidak merasa malu sedikit pun. Itu bagus.

“Pakaianmu di lemari,” katanya. “Santai saja. Kau punya waktu sehari penuh. Dan,” tambahnya dengan senyum semakin lebar, “juga seharian besok.”

Aku menunduk melihat nampanku. Biar kuceritakan kepadamu tentang sarapan itu. Sarapan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku, tak salah lagi. Mulai dari jeruk besar. Nah, kau tentu tahu bagaimana jeruk besar: bagaimana cairannya muncrat menciprati kemejamu, selalu menggelincir dari tanganmu kecuali jika kaupegang dengan garpu atau apalah, bagaimana dagingnya selalu menempel pada selaput buramdan tiba-tiba lepas begitu saja dengan setengah daging buahnya tertarik, betapa rasanya selalu kecut tapi juga membuatmu merasa tak enak jika menaburinya dengan gula. Jeruk besar seperti itu, bukan? Sekarang izinkan kuceritakan kepadamu tentang jeruk besar yang ini. Dagingnya merah muda, bukan kuning, dan tiap bagian sudah dipisahkan dari selaputnya dengan hati-hati. Bagian bawah buah itu sendiri tertancap pada piring oleh pasak atau garpu, sehingga aku tidak perlu memegangnya atau bahkan menyentuhnya. Aku melihat sekeliling mencari gula, tapi itu karena kebiasaan saja. Rasa jeruknya seperti terbagi menjadi dua bagian–ada semacam rasa tajam yang menyentak, yang lalu diikuti sapuan cepat rasa manis; dan tiap bulir kecil itu (kira-kira seukuran kecebong) terasa pecah sendiri-sendiri di dalam mulutku. Begitulah jeruk besar impianku, aku tak keberatan menceritakannya kepadamu.


Komentar