Ngengat - Helena Maria Viramontes

Ngengat

Helena Maria Viramontes
Penerjemah: Dinten - Ngulikata


Usiaku empat belas tahun sewaktu Abuelita [1] meminta bantuanku. Dan sepertinya memang sudah sepantasnya. Abuelita yang menyembuhkanku dari demam tinggi dengan meletakkan, melepaskan, dan mengganti irisan kentang di pelipisku. Ia juga yang menanganiku sewaktu aku mendapat cambukan berkali-kali, patah lengan akibat nekat melompat dari gudang perkakas milik Tio, mengalami pubertas, dan berbohong untuk pertama kalinya. Sungguh, kataku pada Amá, memang sudah sepantasnya.

Bukan berarti aku ini cucu kesayangannya atau sesuatunya yang istimewa. Aku bahkan tidak cantik atau baik hati seperti kakak-kakakku, dan aku tidak pandai mengerjakan hal yang kecewek-cewekkan seperti mereka. Tanganku terlalu besar untuk merajut atau menyulam, dan selalu saja jariku tertusuk atau berkali-kali benangku menyimpul dengan sendirinya sementara kakak-kakakku menertawakanku dan menyebutku si tangan sapi dengan suara mereka yang imut-imut dan bening. Jadi akupun mulai menyimpan kerikil di kaus kakiku dan menimpuk kakak-kakakku atau siapa saja yang menyebutku si tangan sapi. Pernah, sewaktu kami semua sedang duduk-duduk di kamar, aku menyambit dahi Teresa, tepat di atas alisnya dan ia pun lari pada Amá, mulutnya terbuka, tangannya menutupi mata, sementara darah merembes di sela-sela jarinya. Sejak itu aku biasa dicambuki.

Aku juga bukan anak yang punya rasa hormat. Sikapku bahkan sudah keterlaluan dengan menyangsikan keampuhan irisan kentang Abuelita, irisan yang menurutnya dapat menyerap demamku. “Kamu masih hidup, toh?” Abuelita balik menyentak, matanya yang kelabu pucat menyorot padaku dan memupuskan kecurigaanku. Menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang seharusnya kurahasiakan saja, aku tidak berani melihat matanya itu. Tanganku mulai membengkak, mengembang bagai hidung seorang pendusta lalu lunglai seakan-akan beratnya berkurang. Abuelita membuat balsam dari sayap ngengat yang dikeringkan dan Vicks lalu menggosokkannya ke tanganku, mengembalikannya ke bentuk semula dan rasanya sangat aneh. Tulangku seperti meleleh. Mataku yang terpejam seakan ditembus sinar matahari. Setelah kejadian itu, aku tidak keberatan membantu Abuelita, jadi Amá selalu menyuruhku ke tempatnya lagi.

Siang-siang, Amá akan mengikat rambutnya, menyiapkan sweter dan sepatuku, lalu menyuruhku pergi ke tempat Mama Luna. Aku tahu, ini untuk mencegah terjadinya perkelahian dan cambukan. Aku akan melepaskan satu tembakan telak terakhir ke lengan Marisela dan melompat dari rumah, gerdum pintu kasa meredam jeritan marahnya, dan dengan senang hati aku akan pergi membantu Abuelita menanam tumbuh-tumbuhan liarnya seperti bakung, melati, buntut tikus, ketumbar, dan mentol di kaleng-kaleng kopi. Abuelita akan menungguku di puncak anak tangga serambinya sambil memegang paku, palu, dan kaleng-kaleng kopi. Dan meskipun kami jarang mengobrol, jarang menengok satu sama lain selagi memindah-mindahkan akar, aku selalu merasa mata kelabunya terarah padaku. Itu membuatku merasa, anehnya, aman dan terlindungi. Seperti yang seharusnya kita rasakan terhadap Tuhan.


Komentar