Satu Hal Lagi, Sayang - Raymond Carver

Satu Hal Lagi, Sayang

Raymond Carver 
Penerjemah: Maggie Tiojakin - Fiksilotus


Maxine menyampaikan sebuah ultimatum kepada L.D., suaminya, agar segera keluar dari rumah tinggal mereka. Saat itu malam hari, dan sepulangnya ke rumah, Maxine memergoki suaminya sedang mencaci-maki putri mereka satu-satunya dalam keadaan mabuk. Padahal Rae, putri mereka, baru berusia 15 tahun. L.D. dan Rae duduk di meja dapur, bertengkar hebat. Maxine bahkan tidak sempat melepas jaketnya ataupun menaruh tas tangannya. Baru menginjakkan kaki di rumah, ia telah ‘disambut’ oleh adegan yang membuatnya kesal.

“Ayo, Ma, bilang sama Papa apa yang sudah kita bicarakan sebelumnya,” desak Rae, melihat Maxine berdiri di ambang pintu dapur.

L.D. dengan sigap memutar gelas yang ada dalam genggamannya, meski ia tak lantas meneguk isinya. Maxine melemparkan tatapan tajam ke arah suaminya itu.

“Tidak usah ikut campur masalah orang dewasa,” hardik L.D. terhadap Rae. “Orang seperti kau yang kerjanya hanya duduk-duduk seharian sambil membaca majalah astrologi memang tahu apa sih?”

“Lho, memang apa hubungannya dengan astrologi?” protes Rae lantang. “Papa jangan asal menghina deh.”

Sudah beberapa minggu ini Rae tidak masuk sekolah. Remaja itu yakin bahwa takkan ada orang di dunia yang sanggup memaksanya untuk masuk sekolah. Maxine mengatakan bahwa ketidakinginan Rae untuk melanjutkan pendidikannya merupakan satu dari sederetan tragedi yang mengisi hidup keluarga mereka yang pas-pasan.

“Sudah, kalian berdua diam!” hentak Maxine. “Heran, kalian selalu bikin orang sakit kepala.”

“Bilang sama Papa, Ma,” kata Rae. “Bilang bahwa semua itu hanya ada di kepala dia. Siapapun pasti akan mengatakan hal yang sama!”

“Lalu bagaimana dengan penyakit diabetes?” kata L.D. “Bagaimana dengan epilepsi? Apa otak manusia juga bisa mengontrol itu?”


Komentar